Kebijakan Luar Negeri Indonesia Mau Kemana?

Terlepas apakah suatu negara demokratis atau tidak, otoritas dan peranan elit politik dalam hal ini Presiden atau Perdana Menteri (PM) cenderung untuk secara umum dikuasai dalam memformulasikan politik luar negeri suatu negara. Sebagai pemimpin pemerintah (eksekutif) yang tertinggi, Presiden atau Perdana Menteri sanggup saja menegasikan peranan forum lain dan partisipasi publik termasuk mengatur semaunya dalam administrasi korelasi luar negeri Indonesia. Pimpinan direktur sebagai pilihan rakyat di negara yang demokratis bahkan sah-sah saja untuk mengklaim dirinya sebagai sentra dari kebijakan luar negeri. Sementara posisi legislatif atau parlemen, aspirasi publik, akademisi cenderung gampang dimarjinalkan manakala perilaku kritis dalam isu luar negeri dan pengelolaan negara kurang diperhatikan oleh mereka yang tidak berada di bundar Presiden/PM.

Artikel ini merupakan respon awal terhadap kiprah suplemen yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada sejumlah Menteri dalam korelasi luar negeri Indonesia (baca: Jokowi tugaskan Menteri-menteri sebagai penghubung antar negara atau Jokowi Beri Tugas ke Menteri Makara Penghubung dengan Negara Sahabat, Cegah Calo?) Seandainya ada klarifikasi yang lebih lengkap ihwal mengapa hal tersebut ditempuh Presiden Jokowi, maka relevansi artikel ini mungkin akan berubah.


Masalah ini mungkin kurang penting bila kita melihatnya sebagai orang Indonesia yang kurang peduli atau tidak mau ambil pusing terhadap pengelolaan korelasi luar negeri Negara tercinta Republik Indonesia. Belum selesai masalah penggunaan jasa forum lobby yang tidak transparan menyerupai dalam artikel Antara Michael Buehler, Derwin Pereira, dan Luhut Panjaitan, kini Presiden Jokowi menempuh suatu kebijakan dalam pengelolaan korelasi antar negara dengan menunjuk sejumlah Menteri untuk menjadi penghubung dengan negara tertentu sebagai penanggung jawab, khususnya kalau ada masalah tertentu dan juga tersirat untuk mencegah mediator atau calo.

Apakah secara budi keputusan tersebut sanggup saja diterima dengan argumentasi bahwa keberadaan Menteri tertentu untuk negara tertentu akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi permainan perantara? Apakah secara ilmu administrasi hal itu lebih efisien dan efektif? Apakah secara kewajaran korelasi antar negara hal itu sanggup diterima negara atau daerah yang ditentukan? Apakah secara kemampuan Menteri-Menteri yang mendapat suplemen tanggung jawab mempunyai kemampuan yang mumpuni untuk melaksanakan kerjaan dan tanggung jawab suplemen tersebut?

Seandainya Blog I-I menjadi penasihat Presiden, maka Blog I-I akan menjadi pihak yang paling pertama memberikan analisa bahwa keputusan tersebut teramat sangat blunder dari banyak sekali sisi sehingga harus dihindari. Entah siapa yang ingin menjerumuskan Presiden Jokowi dengan keputusan absurd tersebut, sanggup diperkirakan tujuannya ialah untuk memastikan bahwa Jokowi tidak terpilih lagi dalam Pemilu 2019 atau jatuh di tengah jalan.

Isu Luar Negeri merupakan salah satu kelemahan Presiden Jokowi yang terbesar, sehingga sangat gampang untuk menggiring Presiden pada ide-ide yang tidak masuk akal atau akan mengundang kontroversi atau kekacauan pengelolaan/manajemen dan sanksi politik luar negeri Indonesia. Sejak kala sebelum konsep negara bangsa dikenal-pun sudah ada penanggungjawab korelasi antar negara/kerajaan yang biasanya eksklusif dipundak sang Raja atau Perdana Menteri dan didelegasikan kepada kepercayaannya yang jago dalam masalah korelasi antar negara yang ketika ini kita kenal sebagai Menteri Luar Negeri, State Secretary atau Foreign Secretary. Posisi Menteri Luar Negeri ialah sangat strategis lantaran terkait dengan salah satu elemen definisi negara yaitu kedaulatan dalam konteks ratifikasi internasional. Itulah sebabnya dalam kebanyakan konstitusi negara kalau Presiden dan Wapres mangkat dan atau berhalangan dalam waktu bersamaan maka Menlu, Mendagri, dan Menteri Pertahanan menjadi pelaksana kiprah Presiden bersama-sama. Perhatikan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 8 ayat 3 Perubahan ke-IV 10 Agustus 2002 yang berbunyi:

Jika Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak sanggup melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana kiprah kepresidenan ialah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari sehabis itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk menentukan Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik yang yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir masa jabatannya.

Sehingga pemahaman ihwal posisi Menko di Indonesia sudah salah kaprah seperti menjadi yang paling tinggi atau terdekat dengan Presiden dan merasa membawahi Menteri-Menteri lain. Secara hirarkis dalam wewenang sesuai UUD, sehabis Presiden dan Wakil Presiden, maka wewenang tertinggi berada ditangan Menlu, Mendagri dan Menteri Pertahanan lantaran ketiga Menteri tersebutlah yang mempunyai wewenang sebagai pelaksana kiprah Presiden/Wapres manakala keduanya secara bersamaan tidak sanggup melakasanakan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Meskipun Presiden dan kabinetnya sah-sah saja dalam mengatasnamakan negara untuk melaksanakan korelasi antar negara, namun Menteri Luar Negeri ialah satu-satunya Menteri yang secara rutin dan khusus memikul seluruh aspek korelasi luar negeri suatu negara, serta sudah menjadi kelaziman dalam korelasi internasional. Sementara menteri-menteri teknis ikut serta dalam kegiatan korelasi antar negara manakala diharapkan lantaran adanya kesepakatan atau perjanjian yang bersifat teknis.

Keputusan Presiden Jokowi terkait korelasi antar negara mungkin tidak banyak menarik perhatian masyarakat atau politisi Indonesia. Namun di dunia internasional bukan saja sangat membingungkan, melainkan juga mempermalukan Menlu RI dan seluruh jajaran Kemenlu RI. Pertanyaan paling fundamental bagi diplomat asing ialah who is really in charge? 

Presiden punya hak untuk memerintahkan menterinya melaksanakan kiprah khusus atau tertentu, tetapi ketika kiprah khusus itu berada dalam tanggung jawab salah satu kementerian sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU, maka hal itu akan membingungkan dalam pelaksanaannya. Situasi yang kurang solid dalam Pemerintahan Jokowi harus segera diakhiri semoga kegiatan pembangunan sanggup berjalan dengan baik, utamanya ialah penelitian ulang terhadap profesionalisme dari orang-orang yang menunjukkan masukan kepada Presiden. Kepada sahabat yang aktif di Intelijen, pertajamlah analisa politik nasional Indonesia dan sampaikan peringatan-peringatan dini kepada Presiden sebelum terlambat.

Kepada para pendukung Presiden Jokowi, mohon kiranya pesan terbuka ini sanggup disampaikan kepada Presiden dan periksalah siapa yang berusaha menjerumuskan Presiden tersebut. Kepada para pihak yang tidak suka dengan Jokowi, mohon artikel ini jangan dimanfaatkan untuk membuat kegaduhan politik yang baru.


Catatan tambahan/susulan

Ternyata artikel Blog I-I eksklusif ditanggapi Istana dan Kabinet, tidak tanggung-tanggung hanya dalam hitungan beberapa jam hingga satu hari, berikut beberapa alasan yang dirangkum dari jawaban oleh Seskab, Menlu, Menko Kemaritiman, Menteri ESDMMenteri BUMN:

  • Untuk meningkatkan atau menarik investasi asing (investor) ke Indonesia
  • Banyaknya investasi asing ke Indonesia
  • Mengamankan investasi
  • Mengatasi masalah sektoral/teknis dan perizinan
  • Mengatasi Bottle-necking implementasi investasi asing termasuk masalah birokrasi dalam negeri
  • Garansi investasi asing sanggup berjalan oleh Menteri yang ditunjuk
  • Adanya Menteri penanggung jawab secara langsung
  • Mencegah lempar tanggung jawab ketika ada masalah
  • Kemudahan bagi asing untuk menghubungi Menteri penanggung jawab
  • Melibatkan swasta untuk mendampingi Menteri yang ditunjuk
  • Mengurangi kebingungan calon investor asing dalam menghubungi siapa yang bertanggung jawab dalam investasi di Indonesia 
  • Mempercepat proses investasi asing
Intinya ialah semoga INVESTASI ASING sebanyak-banyaknya masuk dan lancar berjalan di Indonesia. Dengan kata lain, masalah "hambatan" investasi asing yang diterjemahkan oleh Pemerintahan Jokowi bersumber dari tidak jelasnya penanggung jawab proses investasi asing sanggup diatasi oleh adanya Menteri tertentu untuk negara-negara tertentu dengan diberikan kiprah dan wewenang suplemen kepada Menteri tersebut untuk menarik investasi dan menuntaskan masalah investasi. Logika sederhana yang sekilas tampak cerdas dan merupakan terobosan bukan?

Blog I-I tetap menganggapnya sebagai blunder yang harus segera tidak boleh bila Pemerintahan Jokowi tidak ingin semakin kedodoran 4 tahun ke depan. Beberapa alasan Blog I-I ialah sbb:

  1. Pentingnya perlakuan yang sama terhadap semua negara dalam penanganan masalah investasi asing yang menurut pada peraturan aturan ihwal investasi asing. Hal ini menunjukkan kepastian prosedural dan menghindari terjadinya penterjemahan yang berbeda dari penghubung atau penanggung jawab dalam penanganan investasi asing. Bayangkan apabila ada 11 atau 12 Menteri yang berbeda-beda keahliannya menangani isu yang sama yakni investasi asing, apakah ada jaminan bahwa mereka semua akan mempunyai kapabilitas dan kebijakan yang sama dalam menangani masalah investasi asing? Ok, tujuannya memperlancar, tetapi apabila terjadi sedikit saja perbedaan antara Menteri BUMN dan Menteri ESDM dalam cara melancarkan proses investasi asing, apakah hal itu tidak akan dinilai oleh pihak asing yang melihatnya sebagai masalah dalam hal fairness. Dengan perkiraan positif sekalipun, akan terjadi gap atau perbedaan kemampuan dalam penanganan investasi asing oleh para Menteri tersebut, sehingga prinsip keadilan dalam menunjukkan perlakuan standar kepada para investor atau calon investor menjadi sangat kelihatan.
  2. Poin nomor 1 tersebut dalam hitungan waktu bulan...tahun akan terbukti dengan sendirinya dimana investor asing akan mempertanyakan gap perbedaan (misalnya lamanya proses atau tingkat kemudahan berinvestasi) yang disebabkan oleh kapabilitas Menteri yang sudah niscaya berbeda. Hal ini belum diperparah oleh interpretasi para Menteri yang belum tentu sama terhadap peraturan ihwal investasi asing, diskresi dan kebijakan Menteri dalam menunjukkan kelonggaran aturan demi memuluskan investasi asing. Hal ini pada gilirannya bukan saja menyebabkan kegamangan dalam soal kepastian prosedural, bahkan kepada kepastian aturan dan kalkulasi laba yang akan diperoleh oleh investor.
  3. Salah satu faktor penting dalam investasi asing di negara manapun ialah daya tarik sektoral yang diminati oleh investor. Apakah investasi asing itu masuk lantaran potensi kekayaan alam, lantaran murahnya buruh, lantaran rendahnya pajak, lantaran pasar dalam negeri Indonesia, semuanya akan mempunyai perhitungan yang berbeda-beda. Kemudian bagaimana Pemerintahan Jokowi sanggup memastikan bahwa investasi asing itu akan menguntungkan Indonesia? Apakah lantaran suatu negara "butuh" investasi asing maka secara membabi buta berupaya menyerap sebanyak-banyaknya investasi bahkan dengan cara yang bekerjsama secara manajerial juga sangat mengkhawatirkan justru membuat asing berpikir dua kali lipat dalam mempertimbangkan investasinya ke Indonesia. Apabila asing justru menjadi sangat berminat, maka hati-hatilah lantaran bisa jadi hal ini merupakan peluang kelengahan Indonesia lantaran penanggung jawab masalah investasinya tidak berada di satu pintu yang membuka potensi terjadinya pelemahan pengawasan dalam mendeteksi terjadinya pelanggaran investasi asing. 
  4. Indonesia Investment Coordinating Board atau BKPM yang didirikan semenjak tahun 1973 secara teori dan praktek sesungguhnya sanggup dianggap sebagai pintu dan pengelola yang ideal untuk investasi asing. Namun mengingat banyaknya kepentingan pada masa lalu, khususnya kala Orde Baru dimana sejumlah investasi asing memerlukan restu dari elit-elit politik khususnya Presiden dan bundar terdekatnya, maka fungsi tersebut lebih banyak sebagai asesoris. BKPM yang menggantikan fungsi Panitia Teknis Penanaman Modal hingga ketika ini ternyata masih belum sanggup berfungsi maksimal terbukti dengan masih adanya sejumlah masalah terkait investasi asing yang bekerjsama lebih disebabkan posisi BKPM yang "dianggap" lebih rendah oleh Kementerian teknis.
  5. Perhatikan UU No. 25 Tahun 2007 ihwal Penanaman Modal, pada pasal 27 ayat (1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar-instansi Pemerintah, antar-instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar-instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar-pemerintah daerah. Kemudian pada ayat (2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. (3) Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab eksklusif kepada Presiden. Meskipun Kepala BKPM ialah setingkat Menteri namun lantaran kuatnya aspek sektoral dalam Kabinet di Indonesia baik di masa kemudian maupun ketika ini, maka dalam sanksi investasi asing seringkali mandeg ketika terjadi masalah pada tingkat teknis di lapangan yang menyebabkan terjadinya biaya ekonomi tinggi. Kemudian dampaknya ialah daya tarik investasi di Indonesia menjadi melemah.
  6. Tidak sanggup dipungkiri bahwa investasi asing sanggup menunjukkan manfaat bagi perekonomian suatu negara apabila berjalan dengan baik dan lancar. Namun untuk itu kita perlu memperhatikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan suatu negara atau suatu perusahaan asing melaksanakan investasi ke negara lain. Salah satu faktor yang sanggup dikompetisikan dengan negara lain ialah kemudahan berinvestasi dengan paket yang atraktif bagi investor, dan mungkin faktor ini yang ingin diterobos oleh Pemerintahan Jokowi. Namun perlu diingat bahwa investasi bukan hanya soal paket kebijakan dan institusi yang mengurusnya, melainkan juga terkait dengan lokasi, fasilitas, infrastruktur, sumber daya (alam yang melimpah dan buruh yang murah), ketersediaan tenaga kerja ahli, stabilitas ekonomi dan politik, keamanan, peraturan ihwal investasi, aksesibilitas terhadap pasar lokal-regional-global, dan iklim usaha. Artinya, mengobati masalah investasi di Indonesia bukan hanya soal siapa yang bertanggung jawab, melainkan juga realita faktor-faktor tersebut apakah mendukung peningkatan investasi ataukah justru melemahkan. 
  7. Dapat dipahami bahwa Indonesia masih menghadapi masalah biaya ekonomi tinggi dan birokrasi yang berbelit-belit. Namun apakah ada perhitungan intelektual dan jaminan sistem manajerial bahwa penunjukkan sejumlah Menteri tertentu bertanggung jawab dalam hal investasi dari daerah atau negara tertentu akan meningkatkan investasi di Indonesia? Blog I-I berani bertaruh bahwa budi yang diambil Pemerintah dalam penunjukkan Menteri tersebut kurang sempurna dan justru akan menambah masalah gres yang mempengaruhi iklim perjuangan dan investasi asing di Indonesia. Mari kita tunggu dan buktikan seiring dengan berjalannya waktu, apakah argumentasi Blog I-I ataukah Pemerintahan Jokowi yang akan terbukti.


Salam Intelijen
SW











Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Kebijakan Luar Negeri Indonesia Mau Kemana?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel