Karena Survei Kompas, Rusak Survei Sebelanga By Hersubeno Arief
Ayo Jalan Terus ! - Kubu pendukung paslon 01 sedang uring-uringan berat. Gara-gara publikasi hasil survei Litbang Kompas, mereka bahkan hingga menyerukan berhenti langganan Harian Kompas.
“HATI-HATI dengan Kompas kini teman2, semenjak perubahan pimred jadi Ninuk, sobat erat Bianti (kakaknya Prabowo)….. mereka BERUBAH menjadi Kampret…. hati2 berita2 di kompas… termasuk isu hari ini wacana penurunan hasil survey.”
Pesan itu beredar di WhatsApp Group (WAG) kubu paslon 01. Salah satu yang mengedarkan ialah seorang pengusaha besar. Dia diketahui hadir dalam pertemuan para pengusaha APINDO bersama Sofyan Wanandi Senin malam (18/3).
Pada pertemuan penggalangan dukungan untuk Jokowi itulah Sofyan memberikan kabar yang sangat menakutkan. Berdasarkan survei Kompas, elektabilitas inkumben dalam bahaya. Tapi berdasarkan Sofyan, survei itu tak akan dipublikasikan.
Denny JA pemilik forum survei LSI, bahkan hingga harus membuat artikel menyerang Kompas. Dia mempertanyakan dapat dipercaya Kompas. Menurutnya Kompas sedang melaksanakan reposisi, dari semula pendukung 01 menjadi lebih ke tengah. Karena itulah muncul angka yang tujuannya membuat semua orang bahagia. Every body happy.
Reaksi pendukung paslon 01 itu sangat mengejutkan. Litbang Kompas menyebutkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. 13,4 persen responden menyatakan rahasia.
Harusnya dengan angka tersebut, dan waktu yang tersisa kurang dari 1 bulan, posisi inkumben sudah kondusif sentosa. Kursi lima tahun periode kedua sudah di tangan?
Tapi itu ialah angka-angka elektabilitas yang disajikan di depan panggung. Untuk konsumsi publik dan media. Di belakang panggung, ceritanya berbeda lagi.
Ada tarik menarik kepentingan dengan kubu istana. Pernyataan Sofyan Wanandi bahwa survei itu tidak akan dipublikasi, membawa kita menerima gambaran apa bergotong-royong yang sedang terjadi di belakang panggung.
Apa yang selama ini samar, remang-remang, tertutup layar panggung, kini terbuka. Itulah sebabnya mereka semua menjadi belingsatan.
Seperti sekelompok orang yang bersekongkol di kegelapan, tiba-tiba ada lampu menyala terang. Pertemuan rahasia mereka terbongkar. Mereka sangat terkejut. Terjaga dari mimpi indah yang membuai.
Reaksi pertama marah. Reaksi berikutnya bisa bermacam-macam. Ada yang pribadi membela diri. Ada yang mencoba mengalihkan perhatian. Ada yang rahasia melarikan diri.
Setelah keterkejutan mereda, di WAG para pendukung paslon 01 ada aba-aba semoga tidak terlalu reaktif menanggapi survei Litbang Kompas. Mereka melaksanakan konsolidasi, membuat isu tandingan. Mereka mencoba menggoreng isu Prabowo pemarah.
Tagar #PrabowoPemarah sepanjang hari Rabu (20/3) sempat menjadi trending, namun tidak bertahan lama.
Besar Karena Survei
Mengapa para pendukung paslon 01 sangat marah? Publikasi survei ketika ini ialah andalan satu-satunya yang masih tersisa dan bisa dijual paslon 01. Jualan lain berupa pencitraan sudah tidak laku.
Jokowi sudah tidak bisa mengandalkan citranya yang sederhana. Dia tidak bisa lagi masuk gorong-gorong, atau naik sepeda motor bergaya kolam dewasa milenial.
Program infrastruktur yang sangat diperlukan jadi ajimat sakti dan sanggup menyihir publik ternyata gagal total. Tol trans-Jawa pujian Jokowi, berkembang menjadi tol mahal yang dihindari para pengemudi truk pengangkut barang. Tol itu juga membuat ribuan UMKM mati dan membuat ratusan ribu pengangguran baru.
Sihir Jokowi tak lagi bisa menghipnotis publik. Wow efeknya sudah hilang. Kampanye Jokowi dimana-mana sepi. Terpaksa harus mengerahkan ASN, atau meminta sumbangan pegawapemerintah kepolisian semoga terlihat ramai.
Formula lama, Jokowi sangat merakyat, coba kembali diterapkan. Ternyata sudah tidak laku. Jokowi menjadi korban perundungan (bully) ketika pulang ke Istana Bogor dengan memakai kereta api Commuter Line (KRL). Sihir itu juga kembali tidak bekerja ketika Jokowi bersama istri mencoba perjalanan perdana MRT di Jakarta.
Sangat masuk akal ketika muncul publikasi Litbang Kompas, mereka menjadi meradang.
Pencitraan dan publikasi survei ialah dua senjata utama dan ajimat sakti Jokowi. Keduanya sukses membawa Jokowi dari Solo menuju Jakarta dan kemudian menghuni Istana Merdeka.
Publik niscaya belum lupa bagaimana setiap hari disuguhi media isu dan foto-foto Jokowi mengenakan sepatu kets blusukan, dan masuk gorong-gorong. Citra Jokowi pejabat yang sederhana, erat dengan rakyat, berhasil ditancapkan media ke dalam memori kolektif publik. Saat itu sihir Jokowi dan media masih sakti.
Bersamaan dengan itu publik digelontor dengan publikasi survei. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi salah satu korbannya. Dia tak berdaya. Menyerah menghadapi gerilya politik dan tekanan publik opini yang dibangun forum survei dan media.
Saat itu framing forum survei dan media, perolehan bunyi PDIP akan anjlok bila tak menentukan Jokowi sebagai capres. Sebaliknya bunyi PDIP akan melejit bila Jokowi yang dijadikan capres. Mereka tahu rahasia Megawati bergotong-royong ingin mencalonkan diri kembali. Karena itu perlu digerilya dan ditekan.
Jokowi balasannya dicalonkan menjadi capres PDIP dan sukses menjadi presiden. Namun bunyi PDIP tidak melejit. Benar PDIP menjadi pemenang pemilu, namun angkanya tidak terlalu tinggi.
Resep usang berupa perpaduan media dan forum survei itu terus berlanjut sepanjang pemerintahan Jokowi. Kepuasan atas kinerja Jokowi digambarkan seperti masih tinggi. Dia niscaya akan terpilih kembali.
Lembaga survei juga mencoba membangun orkestrasi bahwa elektabilitas Jokowi tetap tinggi. Posisinya seakan kian tidak terbendung 1 bulan menjelang hari H pilpres. Elektabilitasnya mendekati 60 persen.
Tiba-tiba survei Litbang Kompas membuyarkan semua mimpi indah itu. Elektabilitas Jokowi ternyata masih di bawah 50 persen, sangat ancaman bagi seorang inkumben. Ada lebih dari 50 persen rakyat yang tidak akan memilihnya.
Sebagai jaringan media pendukung inkumben, perilaku Kompas tidak bisa diterima. Sebuah pengkhianatan. Karena itu harus dihukum.
Kompas menghancurkan taktik pembentukan opini bernilai jutaan dolar yang dengan susah payah dibangun. Meminjam bunyi pepatah : Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena suvei Kompas, rusak survei Denny JA dan gerombolannya.
Apakah nasib Jokowi akan sama ibarat nasib Ken Arok? Dia naik kekuasaan lantaran keris Empu Gandring, dan terbunuh dengan senjata yang sama.
Jokowi besar dan naik ke tampuk kekuasaan lantaran forum survei, dan beliau akan jatuh lantaran forum survei pula? end.
Penulis: Hersubeno Arief
Pesan itu beredar di WhatsApp Group (WAG) kubu paslon 01. Salah satu yang mengedarkan ialah seorang pengusaha besar. Dia diketahui hadir dalam pertemuan para pengusaha APINDO bersama Sofyan Wanandi Senin malam (18/3).
Pada pertemuan penggalangan dukungan untuk Jokowi itulah Sofyan memberikan kabar yang sangat menakutkan. Berdasarkan survei Kompas, elektabilitas inkumben dalam bahaya. Tapi berdasarkan Sofyan, survei itu tak akan dipublikasikan.
Denny JA pemilik forum survei LSI, bahkan hingga harus membuat artikel menyerang Kompas. Dia mempertanyakan dapat dipercaya Kompas. Menurutnya Kompas sedang melaksanakan reposisi, dari semula pendukung 01 menjadi lebih ke tengah. Karena itulah muncul angka yang tujuannya membuat semua orang bahagia. Every body happy.
Reaksi pendukung paslon 01 itu sangat mengejutkan. Litbang Kompas menyebutkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. 13,4 persen responden menyatakan rahasia.
Harusnya dengan angka tersebut, dan waktu yang tersisa kurang dari 1 bulan, posisi inkumben sudah kondusif sentosa. Kursi lima tahun periode kedua sudah di tangan?
Tapi itu ialah angka-angka elektabilitas yang disajikan di depan panggung. Untuk konsumsi publik dan media. Di belakang panggung, ceritanya berbeda lagi.
Ada tarik menarik kepentingan dengan kubu istana. Pernyataan Sofyan Wanandi bahwa survei itu tidak akan dipublikasi, membawa kita menerima gambaran apa bergotong-royong yang sedang terjadi di belakang panggung.
Apa yang selama ini samar, remang-remang, tertutup layar panggung, kini terbuka. Itulah sebabnya mereka semua menjadi belingsatan.
Seperti sekelompok orang yang bersekongkol di kegelapan, tiba-tiba ada lampu menyala terang. Pertemuan rahasia mereka terbongkar. Mereka sangat terkejut. Terjaga dari mimpi indah yang membuai.
Reaksi pertama marah. Reaksi berikutnya bisa bermacam-macam. Ada yang pribadi membela diri. Ada yang mencoba mengalihkan perhatian. Ada yang rahasia melarikan diri.
Setelah keterkejutan mereda, di WAG para pendukung paslon 01 ada aba-aba semoga tidak terlalu reaktif menanggapi survei Litbang Kompas. Mereka melaksanakan konsolidasi, membuat isu tandingan. Mereka mencoba menggoreng isu Prabowo pemarah.
Tagar #PrabowoPemarah sepanjang hari Rabu (20/3) sempat menjadi trending, namun tidak bertahan lama.
Besar Karena Survei
Mengapa para pendukung paslon 01 sangat marah? Publikasi survei ketika ini ialah andalan satu-satunya yang masih tersisa dan bisa dijual paslon 01. Jualan lain berupa pencitraan sudah tidak laku.
Jokowi sudah tidak bisa mengandalkan citranya yang sederhana. Dia tidak bisa lagi masuk gorong-gorong, atau naik sepeda motor bergaya kolam dewasa milenial.
Program infrastruktur yang sangat diperlukan jadi ajimat sakti dan sanggup menyihir publik ternyata gagal total. Tol trans-Jawa pujian Jokowi, berkembang menjadi tol mahal yang dihindari para pengemudi truk pengangkut barang. Tol itu juga membuat ribuan UMKM mati dan membuat ratusan ribu pengangguran baru.
Sihir Jokowi tak lagi bisa menghipnotis publik. Wow efeknya sudah hilang. Kampanye Jokowi dimana-mana sepi. Terpaksa harus mengerahkan ASN, atau meminta sumbangan pegawapemerintah kepolisian semoga terlihat ramai.
Formula lama, Jokowi sangat merakyat, coba kembali diterapkan. Ternyata sudah tidak laku. Jokowi menjadi korban perundungan (bully) ketika pulang ke Istana Bogor dengan memakai kereta api Commuter Line (KRL). Sihir itu juga kembali tidak bekerja ketika Jokowi bersama istri mencoba perjalanan perdana MRT di Jakarta.
Sangat masuk akal ketika muncul publikasi Litbang Kompas, mereka menjadi meradang.
Pencitraan dan publikasi survei ialah dua senjata utama dan ajimat sakti Jokowi. Keduanya sukses membawa Jokowi dari Solo menuju Jakarta dan kemudian menghuni Istana Merdeka.
Publik niscaya belum lupa bagaimana setiap hari disuguhi media isu dan foto-foto Jokowi mengenakan sepatu kets blusukan, dan masuk gorong-gorong. Citra Jokowi pejabat yang sederhana, erat dengan rakyat, berhasil ditancapkan media ke dalam memori kolektif publik. Saat itu sihir Jokowi dan media masih sakti.
Bersamaan dengan itu publik digelontor dengan publikasi survei. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi salah satu korbannya. Dia tak berdaya. Menyerah menghadapi gerilya politik dan tekanan publik opini yang dibangun forum survei dan media.
Saat itu framing forum survei dan media, perolehan bunyi PDIP akan anjlok bila tak menentukan Jokowi sebagai capres. Sebaliknya bunyi PDIP akan melejit bila Jokowi yang dijadikan capres. Mereka tahu rahasia Megawati bergotong-royong ingin mencalonkan diri kembali. Karena itu perlu digerilya dan ditekan.
Jokowi balasannya dicalonkan menjadi capres PDIP dan sukses menjadi presiden. Namun bunyi PDIP tidak melejit. Benar PDIP menjadi pemenang pemilu, namun angkanya tidak terlalu tinggi.
Resep usang berupa perpaduan media dan forum survei itu terus berlanjut sepanjang pemerintahan Jokowi. Kepuasan atas kinerja Jokowi digambarkan seperti masih tinggi. Dia niscaya akan terpilih kembali.
Lembaga survei juga mencoba membangun orkestrasi bahwa elektabilitas Jokowi tetap tinggi. Posisinya seakan kian tidak terbendung 1 bulan menjelang hari H pilpres. Elektabilitasnya mendekati 60 persen.
Tiba-tiba survei Litbang Kompas membuyarkan semua mimpi indah itu. Elektabilitas Jokowi ternyata masih di bawah 50 persen, sangat ancaman bagi seorang inkumben. Ada lebih dari 50 persen rakyat yang tidak akan memilihnya.
Sebagai jaringan media pendukung inkumben, perilaku Kompas tidak bisa diterima. Sebuah pengkhianatan. Karena itu harus dihukum.
Kompas menghancurkan taktik pembentukan opini bernilai jutaan dolar yang dengan susah payah dibangun. Meminjam bunyi pepatah : Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena suvei Kompas, rusak survei Denny JA dan gerombolannya.
Apakah nasib Jokowi akan sama ibarat nasib Ken Arok? Dia naik kekuasaan lantaran keris Empu Gandring, dan terbunuh dengan senjata yang sama.
Jokowi besar dan naik ke tampuk kekuasaan lantaran forum survei, dan beliau akan jatuh lantaran forum survei pula? end.
Penulis: Hersubeno Arief
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 Response to "Karena Survei Kompas, Rusak Survei Sebelanga By Hersubeno Arief"
Posting Komentar