Pribumi Dan Non-Pribumi
PRIBUMI dan NON-PRIBUMI
Dua tokoh nasional Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti memberikan pernyataan yang terkait dengan istilah pribumi, namun mendapat reaksi yang agak berbeda. Anies bahkan dipolisikan oleh Gerakan Pancasila didampingi Banteng Muda Indonesia (organisasi sayap PDI Perjuangan) alasannya yaitu ucapannya tersebut, sementara Menteri Susi mendapat pujian. Mengapa demikian?
Baca Juga
Sementara itu, Menteri Susi berada di posisi bab dari penguasa yang relatif tidak terlalu sanggup dikendalikan Partai Penguasa dan mempunyai latar belakang bisnis yang sarat pengalaman faktual dalam menghadapi persaingan bisnis dimana para pengusaha "Pribumi" mengalami banyak kendala dan kesulitan jikalau dibandingkan dengan pengusaha "Non-Pribumi". Akibatnya Menteri Susi menempuh kebijakan afirmatif mendukung dan mendorong pengusaha Pribumi untuk maju menjadi konglomerat.
Adakah yang salah dengan istilah Pribumi dan Non-Pribumi tersebut? Diskriminasi, rasisme, dan banyak sekali warna pemahaman dalam dua istilah tersebut begitu kuat dihembuskan. Tetapi tengoklah di hati dan pikiran kita masing-masing, apakah identitas sebagai realita bawaan kuat dalam kehidupan anda sehari-hari. Keberhasilan, sukses, kekayaan, penguasaan sumber-sumber ekonomi bukanlah hal yang terjadi secara ajaib, melainkan melalui proses dan hubungan-hubungan kerjasama serta kerja keras. Tidak mungkin anda seorang diri tiba-tiba menjadi pengusaha sukses ataupun menjadi seorang gubernur atau Menteri. Semua terjadi alasannya yaitu kombinasi keahlian anda dan kekerabatan anda di dunia sosial ekonomi dan politik. Istilah pribumi harus diakui baik dalam konteks politik maupun ekonomi yaitu merujuk kepada sejarah bangsa Indonesia dimana pribumi yaitu warga kelas tiga dibawah warga Eropa dan China di masa penjajahan Belanda. Penghinaan tersebut berlangsung sangat usang sehingga tidak sanggup segera hilang hanya dengan UU No 40 tahun 2008 perihal Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis atau Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 perihal Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Apa yang ingin dicapai oleh kedua peraturan tersebut yaitu memenuhi impian dari mereka yang selama ini dianggap sebagai non-pribumi untuk sanggup diperlakukan sama sebagai warga negara. Perlu diketahui bahwa warisan peraturan penjajah kolonial Belanda meninggalkan bom waktu "pembedaan" penduduk dalam aturan Staatblad pencatatan sipil. Meskipun peraturan-peraturan tersebut telah diperbaiki melalui UU Kewarganegaraan dan aturan perihal Catatan Sipil, serta pembatalan banyak sekali peraturan perihal urusan Tjina (Urtjin), namun dimensi sosial dan realita sosial masyarakat dalam konteks kekerabatan antara sesama warga bangsa Indonesia masih belum mencapai apa yang diharapkan. Eksklusifitas masyarakat Tionghoa dengan klan marga semakin kuat memperkuat jaringan bisnis masing-masing marga, sementara identitas keIndonesiaan yang contohnya telah ditunjukkan oleh sebagian politisi keturunan Tionghoa masih belum didukung oleh pembauran yang semenjak awal Orde Baru telah diserukan oleh para tokoh Tionghoa maupun politisi. Hal ini pula yang mengakibatkan kecurigaan terhadap reklamasi pantai Jakarta sangat kuat alasannya yaitu adanya kecurigaan hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Catatan tambahan. Apa yang pernah ditempuh BKMC BAKIN yaitu hal sangat baik dimana kecurigaan-kecurigaan terhadap komunitas keturunan Tionghoa sanggup dinetralisir. Bahkan tanpa disadari oleh masyarakat, BAKIN yaitu otak dari reformasi yang menguntungkan warga Tionghoa. Betapapun besarnya kebencian dan kecurigaan warga Tionghoa terhadap BAKIN di masa lalu, peranan BAKIN sangat sentral dalam mendorong pembatalan diskriminasi. Walaupun hal itu mendapat kritikan keras dari senior-senior mantan KOTI G-5, namun BAKIN lah yang menormalkan kekerabatan RI-RRC (RRT), BAKIN pula yang merestui pembentukan sejumlah gerakan masyarakat Tionghoa dalam perhimpunan menyerupai PSMTI, INTI, dlsb termasuk yang menurut Marga, serta Partai Politik. Alasannya sederhana, dibutuhkan suatu ketika nanti demokrasi yaitu tanggapan untuk pembatalan diskriminasi, demokrasi juga akan menjawabnya dimana kesadaran sosial politik yang mengikat tanggung jawab warga negara cukup melalui prosedur aturan dan sistem politik demokrasi. Apakah BAKIN salah taktik dengan membubarkan BKMC sehingga ketika ini tidak ada lagi komunikasi yang menengahi kecurigaan terhadap warga Tionghoa?
Mari kita lebih terbuka dan berani namun tetap berhati-hati dan menurut fakta dalam menyikapi dinamika sosial, ekonomi, dan politik.
Bila ada yang keliru, mohon koreksi.
Salam Intelijen
Senopati Wirang
Sumber https://intelindonesia.blogspot.com
0 Response to "Pribumi Dan Non-Pribumi"
Posting Komentar