I S I S: Sebuah Perspektif Obyektif

Seorang anggota ISIS membawa bendera ISIS (Sumber: Before It's News)

Kita sering mendengar kata ISIS, membaca gosip wacana ISIS, menonton gosip TV terkait ISIS, namun bagaimana bahwasanya kita memahami ISIS?

Pemahaman yang tepat ISIS bukan saja penting untuk mencegah menguatnya simpatisan ISIS menjadi kekuatan aktual yang besar di Indonesia, melainkan juga untuk menurunkan perilaku saling curiga dan ketegangan yang dipicu oleh perpecahan masyarakat dalam pilkada Jakarta serta dinamika konflik menurut agama yang masih akan terasa hingga beberapa tahun ke depan khususnya menjelang memanasnya suhu politik di tahun 2019.

Apakah ISIS?

Jawaban singkat dan sederhana wacana ISIS ialah Islamic State in Iraq and Syria atau dalam akronim lain disebut dengan Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL). Dalam literatur Barat atau berita-berita di Barat kata the Levant lebih sering digunakan dari pada Syria lantaran fakta wilayah yang dikuasai kelompok ISIS dan keinginan kelompok ISIS ialah wilayah meliputi Irak dan the Levant yang lebih luas dari Suriah.

The Levant yang merujuk kepada Levantines (Latin Kristen Nasrani yang hidup dibawah kekuasaan Khalifah Ustmaniyah) meliputi wilayah yang ketika ini kita kenal sebagai Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, Yordania, dan Turki. Perhatikan gambar berikut ini:

Peta definisi the Levant (sumber wikipedia)

Keterangan:
  • Warna hijau bau tanah ialah negara dan wilayah di daerah the Levant (Suriah, Lebanon, Israel, Yordania, Cyrpus, dan propinsi Hatay - Turki)
  • Warna hijau muda ialah negara dan wilayah yang kadang juga dimasukan sebagai the Levant (Irak dan Sinai - Mesir)
  • Warna hijau sangat muda ialah negara dan wilayah juga dimasukkan dalam wilayah the Levant (Yunani, Turki, dan Mesir)
Merujuk kepada sejarah maka wilayah the Levant yang paling luas ialah adonan seluruh kombinasi warna hijau tersebut, sedangkan merujuk kepada fenomena ISIS ketika ini data hingga bulan Mei 2017, maka daerahnya ialah meliputi sebagian wilayah Irak dan Suriah dengan konsentrasi kekuatan di Raqqa, Deir ez-Zour, Palmyra, Sha'er (Suriah) dan Mosul, Hawija, Qaim (Irak), lihat peta di bawah ini.

Warna hitam ialah wilayah yang dikuasai secara fisik oleh ISIS, sedangkan warna merah ialah wilayah dimana ISIS sering melaksanakan serangan militer (Sumber: Institute for the Study of War)


Memperhatikan fakta penguasaan wilayah secara fisik oleh ISIS yang tersebar dalam luas wilayah yang terbatas dan tersebar, sesungguhnya sanggup diukur bahwa kekuatan aktual dari ISIS lebih tepat digambarkan sebagai gerakan gerilya pemberontak terhadap Pemerintah di Baghdad dan Damaskus. Selain itu, kekuata ISIS terbesar di Raqqa bahkan beberapa kali bergeser ke wilayah Deir ez-Zour, demikian juga wilayah Palmyra dan Mosul dimana antara ISIS dan tentara pemerintah Suriah dan Irak terjadi perebutan wilayah melalui pertempuran.

Bagaimana mungkin sebuah gerakan pemberontak yang masih belum stabil sebagai sebuah negara dengan wilayah yang secara utuh besar lengan berkuasa dikuasai dengan nama ISIS atau ISIL memperlihatkan imbas yang begitu besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia? Hal itu tidak lain tidak lantaran imbas agresi kekerasan yang sangat atraktif dengan pemenggalan kepala atas nama aturan Islam, aksi-aksi teror di banyak sekali belahan dunia yang dinyatakan berhubungan kepada ISIS atau terinsipirasi oleh ISIS,  dan jangan lupa imbas pemberitaan serta media umum yang begitu masif wacana ISIS.

ISIS ialah kelompok yang bercita-cita mendirikan negara Islam dengan sistem Khilafah di wilayah Irak dan Suriah. Cikal bakal kelompok ISIS tersebut ialah Jemaah al-Tauhid wal-Jihad yang kemudian berubah nama menjadi Al Qaeda di Irak dan kini menjadi ISIS. Apapun namanya ISIS belum sanggup dikatakan sebagai negara Islam atau sebuah Khilafah lantaran persyaratan dasar berupa penguasaan wilayah secara stabil belum terjadi, masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan tentara Suriah dan Irak di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Benar bahwa ISIS telah secara efektif menguasai sebagian kecil wilayah yang tersebar di Suriah dan Irak, namun hal itu sanggup terjadi lantaran fakta Suriah dan Irak dihantam oleh konflik sektarian bersenjata yang cukup usang dan Pemerintah Irak dan Suriah tidak sanggup secara efektif menguasai keadaan dan mengembalikan stabilitas keamanannnya. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa ISIS ialah organisasi yang militeristik semenjak lahirnya dan banyak didukung oleh mereka yang mempunyai latar belakang militer yakni dari mantan tentara Irak dan tentara Suriah yang membelot atau tersingkirkan.

Sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia kita harus lebih cerdas dan teliti dalam melihat fenomena ISIS yang merupakan kelompok kecil pemberontak bersenjata yang menjadi besar lengan berkuasa lantaran faktor geopolitik dan permusuhan sektarianisme yang tajam di Suriah dan Irak. Dengan demikian, ISIS bukan Khilafah sebagaimana diklaim oleh ISIS maupun diberitakan oleh media massa. Menyatakan ISIS sebagai sebagai sebuah Khilafah ialah penghinaan yang sangat besar terhadap umat Islam di seluruh dunia. Karena dalam sejarah Islam sebuah Khilafah hingga kala Ustmaniyah di Turki jelas-jelas mempunyai kelengkapan identitas sebagai entitas politik yang besar lintas benua dan besar lengan berkuasa secara militer, sosial, politik, dan ekonomi. Saya katakan ISIS menjadi besar lengan berkuasa lantaran adanya faktor geopolitik dan sektarianisme ialah menurut realita kudeta antara kelompok Sunni dan Syiah yang diperparah oleh kepentingan efek Rusia, dan AS secara global dan Arab Saudi dan Iran secara regional.

Apakah ISIL?
Secara hakiki ialah sama dengan ISIS. Namun dalam teknik propaganda, penggunaan istilah ISIL mempunyai imbas yang lebih besar lantaran membuat ketakutan meluasnya kekuasaan ISIL yang meliputi wilayah the Levant yang merujuk kepada sejarah kelompok Kristen Katholik Latin yang hidup tersebar di wilayah kekuasaan Khalifah Utsmaniyah. Pesan propaganda yang ingin disampaikan dengan penggunaan istilah the Levant dari sisi ISIL ialah keinginan memulihkan kekuasaan Khilafah Islam dalam bahasa Arab di wilayah Masyriqi, namun dari sisi Barat atau kepentingan kelompok yang anti Islam ialah membesar-besarkan kelompok ISIL tersebut seperti menguasai secara efektif daerah the Levant yang sangat luas. Padahal ISIL hanya kelompok jihad dengan kekerasan yang tercerai berai berpusat di Irak dan Suriah. Istilah the Levant juga membangkitkan semangat Levantisme melindungi keturunan kaum Levantines Kristen Katholik Latin yang hidup di daerah dimana ISIL berada.

Geopolitik 
Dalam banyak sekali analisa dan fakta yang terungkap, ISIS ialah anak haram Amerika Serikat sebagaimana dinyatakan olehHillary - ISIS). Geopolitik berupa perebutan efek kekuasaan di kawasan, geoekonomi berupa perebutan ladang-ladang minyak ialah faktor yang lebih besar daripada radikalisme dan terorisme yang merupakan imbas dari pederitaan dan kebencian yang lahir dari darah dan air mata penduduk di daerah konflik di Irak dan Suriah.

Psikologis
Bila anda ialah penduduk Mosul atau Raqqa, kecil kemungkinan anda tidak mencicipi dampak konflik berdarah, di pihak manapun anda berada anda akan mencicipi kepahitan dan penderitaan dari perang. Hal ini juga dirasakan oleh para migran yang berhijrah ke Eropa menyerupai Perancis, Inggris, Swedia, AS, dan lain sebagainya. Ketika mereka mendengar kabar tamat hidup demi tamat hidup dari saudara mereka, menyaksikan hancurnya kota lahir mereka, menyaksikan rusaknya kota asal leluhur mereka, tidaklah mengherankan apabila gejolak hatinya menjerumuskan ke dalam radikalisme dan agresi terorisme. Prosentase keterkaitan antara pelaku teror migran maupun keturunannya dan asal wilayah negara dimana terjadi konflik cukup tinggi. Artinya para teroris lahir dari pahitnya penderitaan konflik lantaran perang yang berkepanjangan membuat mereka berputus asa dan menempuh jalan singkat membuatkan penderitaan dengan masyarakat yang hidup nyaman tentram dengan agresi terornya.

ISIS ialah sebuah entitas kelompok dan bukan keinginan atau kata sifat
Kita bangsa Indonesia harus semakin cerdas dan tidak gampang dibohongi oleh propaganda-propaganda yang tidak terang wacana ISIS. Harus kita yakini bersama bahwa ISIS ialah entitas kelompok jihad kekerasan yang terjado di Suriah dan Irak lantaran masalah sektarian, perebutan kekuasaan, dan geopolitik yang mengakibatkan terjadinya intervensi absurd (Rusia, AS, Saudi Arabia, Turki dan Iran). ISIS bukan Khilafah Islam atau bahkan keinginan mulia mendirikan negara Islam. Tidak tepat dan pantas bagi Muslim Indonesia untuk berbai'at kepada ISIS sebelum mengetahui hakikat keberadaan ISIS dari lahirnya dan abjad pemerintahannya. ISIS ialah fenomena yang tidak terhindarkan di dua negara yakni Irak dan Suriah yang tercabik-cabik jawaban hilangnya kontrol kekuatan negara Irak paska hancurnya rezim Saddam Husein dan melemahnya rezim Al-Assad lantaran kebijakan keamanan yang represif terhadap warga negaranya sendiri.

ISIS juga bukan kata sifat yang menggambarkan gelombang semangat keIslaman dengan keinginan Khilafahnya. Sehingga kalau anda bersimpati kepada ISIS seolah anda semakin Islami, hal itu terang jauh dari kenyataan.

Namun demikian, kita sebagai bangsa juga harus hati-hati dalam berwacana wacana ISIS. Kita cukup berhenti dalam fakta-fakta dan hentikan opini sesat yang sanggup mendorong kita ke dalam jurang konflik sektarian. Beberapa opini sesat terkait ISIS ialah kebiasaan jelek melabelkan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan ISIS. Benar bahwa terjadi fenomena berbai'at kepada ISIS dari sekelompok kecil Muslim Indonesia, bahkan diantara mereka ada yang ikut berhijrah ke wilayah konflik di Suriah dan Irak dan menjadi pecahan dari ISIS. Kelompok ini sangat kecil dan jangan diperbesar dengan melabelkan organisasi-organisasi Islam atau tokoh Islam yang cenderung radikal namun belum menempuh jalan kekerasan dengan ISIS. Bahaya berwacana atas suatu isu yang kita belum paham betul ialah pada mewujudnya wacana itu menjadi kenyataan. Lebih dari itu, wacana-wacana yang keliru ialah bagaikan benih-benih konflik yang akan tumbuh subur kalau kita sebarluaskan yang jadinya menjadi kesalahpahaman yang massal. Disadari atau tidak, kita justru menuju kepada hal-hal yang tidak kehendaki.

Indonesia   
Analisa-analisa atau peringatan bahwa Indonesia berpotensi mengalami situasi konflik menyerupai Irak dan Suriah terang sangat kebablasan atau berlebihan. Faktor-faktor utama pembentuk konflik menyerupai di Irak dan Suriah sama sekali berbeda dengan di Indonesia. Satu-satunya faktor yang sama ialah keberadaan kelompok kecil yang radikal yang menempuh jalan kekerasan dengan aksi-aksi terornya. Sementara faktor geopolitik, faktor kepentingan asing, faktor konflik Sunni-Syiah, faktor perpecahan militer lantaran pembelotan, geografis komposisi dan konsentrasi penduduk (Sunni-Syiah), serta kerasnya abjad budaya konflik dalam konteks Indonesia sanggup dikatakan tidak ada atau sangat lemah. Meskipun hanya faktor keberadaan kelompok kecil radikal, bukan berarti sanggup diabaikan lantaran kalau pemerintah salah mengambil kebijakan. Kelompok kecil tersebut sanggup menjadi besar lantaran mereka yang gres radikal dalam wacana ditekan untuk menjadi radikal secara hakikat dan fisik sebagaimana kebijakan yang pernah ditempuh kala Orde Baru yang memarjinalkan kelompok-kelompok Islam atas anti-Pancasila dan terkena UU Subversi.

Daripada menakut-nakuti masyarakat dengan potensi perang menyerupai di Suriah dan Irak, apakah tidak lebih baik apabila kita yakin percaya diri dengan abjad bangsa kita luhur bahwa situasi dan kondisi di Irak dan Suriah sanggup kita cegah dengan mudah. Mengapa kita menjadi sedemikian lebay dan lemah seolah ISIS ada dimana-mana menjadi bahaya serius? Mengapa kita tidak secara masif menyadarkan masyarakat bahwa klaim ISIS sebagai Khilafah ialah penghinaan yang aktual terhadap umat Islam di seluruh dunia? ISIS tidak pantas menjadi wangsit dalam usaha umat Islam, namun demikian ISIS merupakan fenomena masuk akal untuk survive dari kaum Sunni di Irak dan Suriah yang mengalami represi kekerasan dari pemerintah Suriah dan Irak yang dikuasai oleh kaum Syiah. Konflik di kedua negara tersebut ialah khas menurut pada kondisi obyektif pendorong konflik di sana. Sehingga seharusnya kalau anda seorang Muslim yang peduli, maka jalan keluar dari isu konflik berdarah di Suriah dan Irak ialah mengupayakan perdamaian, bukan menambah masalah dengan ikut berperang atau bahkan mengatasnamakan Islam membuat teror di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang tidak tahu menahu situasi di Irak dan Suriah.

Bila anda mengaku sebagai pejuang syariah Islam dan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia, maka lihatlah dengan mata dan hati anda bagaimana situasi dan kondisi Indonesia ketika ini? Apakah anda tidak sanggup menjalankan ibadah secara aman? Apakah anda dimusuhi oleh negara atau non-Muslim sehingga hidup anda terancam? Apakah anda tidak sanggup berdakwah dan mengembangkan pedoman Islam secara damai? Serta bagaimana bahwasanya keinginan lebih banyak didominasi umat Islam Indonesia menjalani kehidupannya? Apakah anda ingin memaksakan idealisme Khilafah kepada seluruh masyarakat Indonesia? Bagaimana anda mengukur diri anda sendiri dan kekuatan kelompok anda menghadapi realita sistem politik, sosial, ekonomi yang telah tertata baik dan tenang di Indonesia? Blog I-I tidak anti Islam, bahkan kalau dibaca secara hati-hati Blog I-I sering memperlihatkan analisa-analisa yang obyektif wacana bagaimana kondisi yang dihadapi umat Islam Indonesia.

Harus pula diwaspadai bahwa di Indonesia juga terdapat kelompok kecil radikal yang memusuhi Islam dan secara sistematis berusaha menguasai banyak sekali peri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah kendali mereka. Identifikasi menguatnya faham komunisme serta masifnya propaganda kelompok Kristen radikal juga patut diwaspadai. Hal ini bukan untuk memecah belah bangsa, melainkan memperlihatkan kesadaran kepada kita semua untuk berhati-hati dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing dalam koridor demokrasi. Ciri-ciri propaganda Kristen radikal Indonesia ialah dengan menyebarluaskan ketakutan-ketakutan bahaya dari ormas Islam yang kemudian dilabelkan dengan anti-Pancasila dan juga pro-ISIS yang seringkali ditambahi bumbu mengkaitkannya dengan tokoh Islam menyerupai wapres JK, Pimpinan PKS, Tokoh Muhammadiyah, dll dengan perilaku merendahkan. Sebaliknya propaganda-propaganda kelompok radikal Islam Indonesia ialah secara tegas menyoroti penguasaan sektor-sektor ekonomi oleh kaum Nasrani. Kelompok-kelompok radikal tersebut baik Islam maupun Kristen sesungguhnya masih berada pada wilayah wacana, propaganda, dan usul atau hasutan-hasutan yang diwarnai argumentasi yang sepihak dan kadang disisipi gosip bohong (hoax). Blog I-I terang-terangan mengungkap ini untuk menyadarkan semua pihak untuk menghentikan wacana-wacana sesat pembentukan opini yang sanggup mendorong kita ke dalam jurang konflik berdarah. Masih belum terlambat bagi anda semua yang gemar menyebarluaskan goresan pena melalui media umum twitter, facebook atau grup-grup WA untuk menghentikan wacana-wacana yang bernuansa permusuhan atau labelling yang bertujuan mendiskreditkan kelompok tertentu.

Apakah Blog I-I tidak ikut-ikutan menjerumuskan dengan artikel ini? Silahkan dibaca dari atas hingga selesai secara hati-hati. Blog I-I hanya mengungkapkan fakta adanya perspektif yang macam-macam wacana ISIS yang ditarik ke dalam situasi dan kondisi nasional Indonesia. Bahwa ada perbedaan kepentingan di dalam negeri Indonesia ialah hal yang wajar, kita punya aturan sistem politik demokrasi dan kita punya aturan positif. Sepanjang pemerintah adil maka akan tercipta kepercayaan yang tinggi dan stabilitas sanggup terjaga. Sepanjang TNI, Polisi Republik Indonesia dan BIN tidak terpecah belah, maka kerusuhan sosial politik sebesar apapun akan sanggup dikembalikan kepada kedamaian.  Kita tentunya tidak menghendaki terulangnya kerusuhan-kerusuhan apalagi yang bernuansa sektarian, maka hentikanlah wacana-wacana yang mengundang konflik dan ini berlaku untuk semua pihak.

Contoh konflik berdarah yang tercipta dari wacana atau isu dan gosip terkait agama Islam-Kristen ialah kerusuhan Ambon dan Poso, sedangkan yang berlatarbelakang etnis ialah insiden Sampit (Dayak-Madura). Dalam insiden Ambon dan Poso sebelum pecahnya serangan-serangan terbuka dalam waktu yang relatif singkat tersebar provokasi-provokasi sebagaimana saya sampaikan diatas digerakkan oleh kelompok Islam radikal dan Kristen radikal. Sementara dalam insiden Sampit, provokasi menurut suku juga menjadi faktor pendorong pecahnya konflik terbuka. Artinya kecurigaan, prasangka, bercampur dengan kepentingan-kepentingan tertentu bisa membuat terjadinya konflik berdarah. Apabila telah terlanjur terjadi, maka hal itu cenderung menjadi bulat agresi kekerasan saling membalas lantaran dendam telah merasuk ke dalam hati insan yang berkonflik. Seluruh konflik-konflik tersebut sanggup diredakan lantaran masih kuatnya NKRI dan solidnya TNI, Polri, dan BIN. Walaupun dalam masalah Ambon dan Poso terjadi sedikit perpecahan dalam badan pegawapemerintah keamanan lokal yang bersimpati menurut agama, namun hal itu sanggup segera diatasi berkat intervensi dari pusat yang mendorong perdamaian.

Penutup
ISIS ialah fenomena gerakan radikal kekerasan lantaran situasi obyektif di Suriah dan Irak yang terkait erat dengan survival dari kelompok-kelompok yang bertikai di kedua negara tersebut. Merupakan fenomena biasa di wilayah konflik, hanya saja kebetulan mengatasnamakan Islam dan mengklaim sebagai Khilafah. Kelompok ISIS tidak ada bedanya dengan kelompok-kelompok yang bertikai berperang di wilayah konflik lain menyerupai di Ukrania antara yang pro Rusia dan pro-Barat. Namun bedanya ISIS mengembangkan daya tarik internasional dengan solidaritas Khilafah Islam lantaran kebutuhan pinjaman menggandakan model Al Qaeda dengan cabang-cabangnya di banyak sekali negara. Bila anda bersimpati kepada ISIS, maka anda telah tertipu dan masuk ke dalam konflik lokal Suriah dan Irak. Bila anda merasa telah membantu ISIS dengan melaksanakan agresi teror di Indonesia, maka hal ini dua kali tertipu lantaran anda bukan saja tidak paham konteks keberadaan ISIS, melainkan mengalami delusi seolah Indonesia berada dalam kondisi gawat lantaran represi terhadap kelompok Sunni. Kelompok di Indonesia yang simpati atau bahkan berhubungan kepada ISIS ialah minoritas yang diperkirakan tidak lebih dari 3% dari jumlah penduduk Indonesia, sementara lebih banyak didominasi orang Indonesia merasa nyaman dengan Republik Indonesia dan sistem politik demokrasi. Mayoritas umat Islam Indonesia juga lebih nyaman dengan Republik Indonesia daripada model pemerintahan yang lain. Meskipun isu agama tetap penting dalam perpolitikan Indonesia, hal itu tidak mencerminkan adanya pinjaman kepada model negara Islam atau Khilafah (silahkan baca: Habieb Rizieq dan Old Town Operation) terletak pada proses aturan yang lebih fokus pada pihak yang terungkap dalam pembicaraan "porno" daripada pengungkapan penyebarluasan pornografi melalui situs baladacintarizieq, bahkan polisi membandingkan masalah tersebut dengan masalah Ariel-Luna, sebuah perbandingan yang tendesius menghakimi. Dalam aturan Islam sekalipun fakta-fakta masalah pornografi yang menimpa Habieb Rizieq belum sanggup dikategorikan sebagai Zina Hakiki kalau dibandingkan dengan masalah Ariel-Luna. Dari dinamika masalah tersebut, kemudian berkembang meme-meme penghinaan dan perendahan derajat yang cukup masif dari yang tidak terdeteksi siapa pembuatnya hingga pada komentar-komentar yang sanggup ditelusuri di media umum yang kemudian direspon dengan agresi persekusi oleh anggota FPI. Artinya konflik-konflik kecil menyerupai terpelihara entah sengaja atau tidak.

Apakah pemerintah sedang mengkondisikan pembubaran FPI secara tuntas dengan memenjarakan Habieb Rizieq dan membubarkan FPI dilabel intoleran anti Pancasila serta terbukti melaksanakan sejumlah agresi persekusi melawan hukum? Apakah hal itu akan menghilangkan masalah radikalisme tanpa pembunuhan yang sering dilakukan FPI? Ataukah sedang ada upaya mendorong radikalisme FPI menjadi organisasi teroris yang masuk ke bawah tanah? Sekali lagi konflik-konflik kecil dipermukaan kehidupan sosial yang lahir dari organisasi FPI jauh lebih gampang dikendalikan daripada organisasi teroris. FPI mungkin telah berdiri di tepi radikalisme kekerasan menuju agresi yang lebih keras dan emosional, namun FPI belum terjerumus ke dalam agresi terorisme bom bunuh diri. Belakangan ini begitu masif keinginan dari sebagian masyarakat yang anti FPI untuk melenyapkan FPI, namun mencermati dinamika menuju kepada pembubaran atau penghancuran FPI secara tidak adil secara aturan sanggup dipastikan akan kontra produktif dan mengakibatkan potensi berkembangnya kelompok teroris yang merekrut mantan-mantan anggota FPI yang akan kehilangan Habieb Rizieq dan kehilangan tempat bernaung organisasi FPI.

FPI lahir paska runtuhnya rezim Orde Baru bahu-membahu sejumlah ormas dan LSM yang tumbuh berkembang di kala reformasi semenjak tahun 1998. Mengapa pada kala Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, kelompok FPI sanggup dengan bebas bergerak dan bahkan kadang tampak bersahabat dengan penguasa dan Polisi, sementara kini sedang menuju kehancurannya?

Hal itu tidak terlepas dari politik kekuasaan dan pertarungan menuju pilpres 2019 (dimana Eyang Senopati Wirang meramalkan kekalahan Jokowi). Ketakutan terbesar dari Presiden Jokowi dan PDI-P ialah pada bersatunya kekuatan politik Islam mendukung lawan politik Jokowi siapapun orangnya. Sehingga diharapkan langkah-langkah sistematis memangkas seluruh kekuatan Islam yang dianggap oposisi terhadap Presiden Jokowi sedini mungkin. Strategi yang digunakan terang memakai ideologi negara Pancasila dan labelling anti-Pancasila kepada kelompok-kelompok yang kemarin bersatu mengalahkan paslon gubernur penista agama Ahok dan wakilnya Djarot. Itulah sebabnya Blog I-I sangat kritis dengan langkah-langkah yang ditempuh Jokowi. Kekhawatira Blog I-I bukan kepada siapa yang akan memenangi pilpres 2019, melainkan kepada proses radikalisasi yang semakin dalam paska gerakan revitalisasi Pancasila ala Jokowi yang membenturkan Pancasila dengan Islam. Blog I-I juga telah berusaha memperlihatkan masukan melalui artikel Saya Indonesia Saya Pancasila yang mendorong pemeritah semoga lebih berhati-hati dalam memanfaatkan ideologi negara Pancasila untuk stabilitas dan kekuasaan.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Tidak ada kesempurnaan analisa dan kepastian asumsi masa depan hingga jadinya terjadi menjadi kenyataaan. Apa-apa yang Blog I-I sampaikan hanyalah sebuah pemikiran dari sudut pandang intelijen yang menjadi ciri khasnya yakni peringatan-peringatan semoga kita sebagai bangsa sanggup menghindari tragedi atau jatuh ke jurang masalah yang besar.  Bacalah analisa Blog I-I secara kritis dan jangan anda terima mentah-mentah, anda boleh oke juga boleh bertentangan lantaran kita insan mempunyai banyak sekali cara pandang sesuai pada latar belakang dan kapasitas kita masing-masing.

Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "I S I S: Sebuah Perspektif Obyektif"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel