Ahok/Djarot Vs Anies/Sandi

Sebelum memulai artikel ini, izinkan kami seluruh jaringan Blog I-I mengucapkan selamat kepada Tim Operasi Intelijen memenangkan Ahok/Djarot yang telah berhasil memulihkan elektabilitas Ahok/Djarot melalui banyak sekali operasi yang secara meyakinkan memojokkan seluruh lawan-lawan politik Ahok termasuk lawan-lawan politik Presiden Jokowi. Ingat ! Kami selalu mengawasi !

Sejalan dengan analisa Blog I-I dalam artikel Kode Sandi: Old Town Operation bahwa calon gubernur terdakwa penista agama Islam, Ahok telah mengalami pemulihan elektabilitas berkat operasi intelijen yang massif menyasar kepada lawan-lawan politik Ahok. Tepat sebagaimana digambarkan dalam artikel tersebut peluang Ahok untuk kalah atau menang menjadi 50%, artinya memasuki putaran kedua pilkada DKI persaingan paslon Ahok/Djarot VS Anies/Sandi benar-benar ketat dengan asumsi awal 50-50. Sebagai mana tercermin dari hasil perhitungan cepat yang akan terkonfirmasi dengan perhitungan KPUD DKI Jakarta secara resmi nanti, tampak bahwa perolehan bunyi paslon Ahok/Djarot dan Anies Sandi hanya selisih antara 1 s/d 3% sementara paslon Agus/Sylvi tertinggal jauh lebih dari 20%,

Apakah Blog I-I masih meramalkan kekalahan Ahok? jawabnya IYA

Sebagai satu-satunya jaringan intelijen yang lahir dari rakyat dengan sistem jaring tidak saling mengenal terputus satu dengan yang lainnya, Blog I-I yang dikala ini masih dimusuhi rezim Jokowi dan diblokir tanpa justifikasi aturan yang terang merasa berkewajiban untuk memberikan informasi-informasi yang akurat untuk kepentingan bangsa dan negara mendorong terciptanya Intelijen Indonesia yang benar-benar profesional dan higienis dari kepentingan politik kekuasaan.

Lalu mengapa Blog I-I masuk ke ranah politik dengan memberikan analisa-analisa politik? Hal ini tidak lepas dari monitoring jaring Blog I-I yang menyaksikan bagaimana para mata-mata BIN, BAIS, Polisi berkeliaran dengan penampilan yang sangat kampungan mengawasi para ulama, organisasi Islam, memonitor ceramah-ceramah di masjid dan pengajian yang mana semuanya terekam dengan baik oleh jaringan Blog I-I. Mohon jangan menantang jaringan Blog I-I untuk mempublikasikan wajah-wajah kampungan mata-mata tersebut. Jaringan Blog I-I juga melihat bagaimana intel-intel berkeliaran secara tidak terang mengawasi kelompok Pro-Ahok. Penampilan para mata-mata yang didanai oleh uang pajak rakyat Indonesia tersebut sangat kelihatan mencolok pada aksi-aksi massa baik kelompok Islam maupun pro-Ahok, baik dalam aksi-aksi independen terpisah maupun pada dikala pelaksanaan sidang-sidang penistaan agama dengan terdakwa Ahok.

Mungkin tujuannya para mata-mata tersebut untuk menyerap info dan mempersiapkan cipta kondisi yang tenang mendukung pelaksanaan demokrasi. Dengan prasangka baik, jaringan Blog I-I akan merahasiakan seluruhnya dan meminta dengan serius kepada pimpinan Intelijen Negara untuk mendidik kembali para operator intelijennya semoga tidak gampang terdeteksi.

Sesungguhnya tidak etis bagi Blog I-I membahas masalah politik, namun semenjak publikasi artikel Politik, Agama dan Intelijen Blog I-I justru dianggap musuh oleh rezim Jokowi, sehingga sanggup disimpulkan bahwa Intel dan Politik sulit dipisahkan. Padahal Blog I-I hanya bersikap kritis dalam rangka memperlihatkan pembelajaran kepada publik perihal pentingnya kebenaran, keadilan, dan kedamaian sebagaimana ketika Blog I-I meluruskan fitnah yang ditujukan kepada Jokowi sebagai calon Presiden dalam artikel Stanley Greenberg dan Indonesia sampai-sampai Blog I-I dicurigai sebagai bab dari tim sukses Jokowi. Padahal tidak, semua itu dilakukan Blog I-I demi masa depan Indonesia yang lebih baik, dimana dalam proses pemilihan pemimpin nasional dan kawasan kita semua mengharapkan terpilihnya kader bangsa yang terbaik dan bukan yang lahir dari kebohongan, manipulasi dan operasi-operasi intelijen.

Keputusan Blog I-I untuk menyoroti Pilkada DKI Jakarta tidak terlepas dengan Pilpres 2019 serta upaya memelihara persatuan dan kesatuan dan harmoni korelasi sesama anak bangsa Indonesia. Ancaman terhadap demokrasi yang masih terus berkonsolidasi yaitu pada "pemaksaan" kehendak yang dikemas melalui kekuatan-kekuatan kelompok yang didukung oleh uang dan kepentingan. Baik kelompok pendukung terdakwa penista agama, Ahok maupun pendukung Anies mempunyai potensi radikal yang cukup besar yang terdeteksi secara terang dalam dinamika selama 4 bulan terakhir ini. Sikap berlebihan saling menghina yang juga ditunjukkan oleh sebagian pimpinan dan tim buzzer pendukung masing-masing bukan saja sanggup menggambarkan polarisasi politik, melainkan juga menggambarkan perilaku mental "permusuhan". Hal inilah yang menjadikan Blog I-I merasa terpanggil untuk memperlihatkan pandangan-pandangan yang sanggup dipertimbangkan masyarakat pembaca Blog I-I sebagai alternatif cara pandang.

Benar bahwa hampir tidak ada pemimpin dalam sistem demokrasi yang dicintai 100% warganya, hal itu juga berlaku untuk sistem-sistem politik yang lain. Kesadaran tersebut mendorong setiap pemimpin yang sedang berkompetisi atau yang telah terpilih untuk sanggup merangkul seluas-luasnya banyak sekali kalangan masyarakat termasuk yang tidak memilihnya, dengan kata lain pemimpin yang baik sanggup menghilangkan prasangka dalam dirinya dan bersungguh-sungguh mengabdi untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, dalam proses pilkada DKI Jakarta kita telah menyaksikan bagaimana hiruk-pikuk kegaduhan politik banyak dipolitisir sedemikian rupa seolah mengarah kepada konflik atau ditakut-takuti seolah dibayangi ATHG perpecahan bangsa. Bahkan sejumlah pakar memperlihatkan pandangan yang agak mengkhawatirkan contohnya Election in Indonesia's Capital Could Test Ethnic and Religious Tolerance memberikan bahwa bunyi Islam konservatif terang bersama Anies, sehingga mereka yang percaya Ahok telah melaksanakan penistaan agama juga terang bersama Anies.

Blog I-I menghormati pandangan dan analisa Burhanuddin Muhtadi sebagai pollster yang kredibel dan akademik yang obyektif. Contoh pandangan ibarat Burhan tersebut cukup umum tersebar kepada kalangan terdidik Muslim Indonesia yang moderat dan khususnya lagi didikan Barat. Namun opini semacam itu yang dikutip dengan baik oleh Joe Cochrane dan Jewel Topsfield dalam artikelnya sanggup mengarah kepada pandangan yang anti-ajaran Islam. Kehati-hatian disini lebih terletak kepada penilaian-penilaian labelling yang sanggup menyesatkan masyarakat. Seolah terjadi ikatan-ikatan lantaran akhir dari suatu pandangan atau pilihan yang berujung kepada label tertentu.

Beberapa logika yang dibangun dari cara pandang tersebut yaitu sbb:

Muslim Moderat  identik dengan perilaku toleran dan bersandar kepada prinsip demokrasi yang tidak dipengaruhi sentimen SARA dan rasional 

Muslim konservatif identik dengan tidak toleran dan cenderung berpegang teguh pada prinsip pedoman Islam serta seolah tidak rasional

Pertanyaannya kemudian adakah yang keliru dengan logika tersebut?


Setiap individu mempunyai identifikasi diri yang dinamis dan bersifat multi, contohnya saya orang Indonesia, etnis Betawi, Muslim, ekonom, dan dosen. Atau saya orang Indonesia, etnis Tionghoa, Kristen, dokter, dan pegawai negeri. Semua itu menempel dalam identifikasi diri sebagai mana juga juga dijadikan pola dalam penelitian sosial kuantitatif untuk data responden dan mencari korelasi antar variabel yang menjadi perhatian peneliti.

Persoalan klasik dari akademisi yang terlalu meyakini pendekatan kuantitatif yaitu generalisasi dan label-label menurut pada data statistik yang kadangkala belum tentu menggambarkan hakikat dinamika sosial yang sesungguhnya. Misalnya pandangan seluruh Muslim yang percaya Ahok melaksanakan penistaan agama yaitu Muslim konservatif atau pandangan yang memaksakan argumentasi bahwa seorang Muslim moderat akan toleran dan tidak tersinggung dengan ucapan penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok. Generalisasi tersebut sanggup menghilangkan realitas sosial bahwa konsep moderat dan konservatif yang dilabelkan terhadap umat Islam sangat luas interpretasinya dan boleh jadi mempunyai definisi yang berbeda-beda batasannya.

Berteori, melaksanakan klaim terhadap suatu kebenaran cara pandang, keberanian menilai, dan memberikan analisa merupakan pekerjaan akademisi dan pengamat, sehingga sah-sah saja jikalau sebagai pengamat memperlihatkan pandangan-pandangannya. Demikian juga yang dilakukan oleh jaringan Blog I-I dalam sama-sama membangun suatu konstruksi pemahaman yang lebih baik gotong royong seluruh sahabat Blog I-I, pembaca setia Blog I-I, dan masyarakat secara umum.

Sekarang mari kita masuk ke dalam analisa Ahok/Djarot VS Anies/Sandi

Hal pertama yang perlu diperhatikan yaitu pada asumsi-asumsi asumsi massa pendukung utama menurut sentimen agama (dengan pembulatan):

Ahok/Djarot : 15-20% Non-Muslim + 30% Muslim dari pendukung hardcore Partai pengusung
dengan angka menjadi 1421718 (Non-Muslim) + 1.642.084 (Muslim) = 3.063.802 bunyi

Anies/Sandi : 1-3% Non-Muslim + 60% Muslim masyarakat dan Partai pengusung
dengan angka menjadi 213258 (Non-Muslim) +  3284168 (Muslim) = 3.497.426 suara

Dengan demikian asumsi prosentase pilkada DKI Jakarta Putaran ke-2 yaitu sbb:

Ahok/Djarot = 3.063.802 bunyi = 43.10%  asumsi partisipasi 77.56% = 2.376.285 suara
Anies/Sandi  = 3.497.426 bunyi = 49.20%  asumsi partisipasi 77.56% =  2.712.604 suara
Swing voter  =    542.361 bunyi =   7.70%  asumsi partisipasi 77.56% =     420.655 suara
Total             = 7.108.589 bunyi = 100%                               Total      =  5.509.544 suara

Total pemilih yang ditampilkan dalam hasil final pilkada Jakarta di website KPU yaitu sebesar 7.218.279 yang berarti lebih banyak 109.690 bunyi dibandingkan DPT yang sebesar 7.108.589. Dengan asumsi baik/positif bahwa selisih tersebut berasal dari DPTb (tambahan), DPK, DPKTb maka asumsi intelijen mengalami selisih yang cukup signifikan dengan faktor bunyi di luar DPT tersebut. Selain itu sesuai dengan hasil penghitungan final pemilu prosentase pemilih yang memakai hak pilihnya yaitu sebesar 77.1% dan tidak memakai hal pilihnya (golput/berhalangan) sebesar 22.9%. Selisih prosentase tersebut tidak jauh masih berada dalam rentang asumsi Blog I-I, sehingga asumsi ini masih sejalan dengan fakta yang tampak pada hasil final putara pertama pilkada DKI Jakarta.

Update: Angka-angka tersebut hanyalah simulasi dengan asumsi seluruh pemilih dalam DPT 100% memakai hak pilihnya, sementara kenyataannya dalam putaran pertama total prosentase pemilih yang memakai hak pilihnya (tingkat partisipasi) mencapai  77.56% dari rata-rata 5 wilayah pusat, timur, selatan, barat dan utara ditambah kepulauan seribu. Apabila ingin dibentuk simulasi yang mendekati kenyataan dengan memakai asumsi tingkat partisipasi yang sama yakni 77.56% maka yang besar lengan berkuasa hanya kepada angka nominalnya saja, sedangkan prosentasenya akan tetap. Sementara itu, fakta bahwa masih ada 22.43% pemilih yang tidak memakai hak pilihnya (golput) menjadi peluang bagi kedua paslon untuk mendorong peningkatan partisipasi proteksi suara. Selain itu, bunyi tidak sah yang mencapai lebih dari 65 ribuan bunyi juga menjadi kiprah penyelenggara pemilu untuk kembali mensosialisasikan peraturan perihal bunyi sah kepada masyarakat, lantaran sangat disayangkan bunyi sebanyak itu mungkin akan menjadi penentu pemenang.

Faktor massa mengambang kembali akan menentukan hasil pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 lantaran dari proyeksi asumsi intelijen sejauh ini masih belum sanggup dipastikan siapa yang sanggup mencapai bunyi diatas 50% untuk memenangkan pilkada DKI Jakarta.

Meskipun pasangan Anies/Sandi akan memimpin lantaran diperkirakan akan terjadi penajaman sentimen agama terkait dengan jalannya sidang penistaan agama dengan terdakwa Ahok, namun hasil karenanya akan sangat ketat sebagaimana terjadi pada putaran pertama.

Dua faktor yang sangat besar lengan berkuasa dan sanggup menyederhanakan asumsi pilkada Jakarta putaran kedua justru lebih kepada hasil sidang penistaan agama dan kemungkinan terjadinya gerakan-gerakan massa yang besar, dimana kedua faktor tersebut menguntungkan pasangan Anies/Sandi.

Sebagaimana asumsi Blog I-I dalam artikel Kode Sandi: Old Town Operation dimana peluang Ahok bisa mencapai 50% paska sejumlah operasi intelijen yang sangat efektif yang terbukti dengan unggul pada putaran pertama, maka dalam 2 bulan ke depan, kita akan menyaksikan sejumlah kegaduhan politik, agresi massa, dan penajaman konflik menuju pelaksanaan pemungutan suara.

Sahabat Blog I-I mungkin bertanya-tanya bagaimana Blog I-I memvalidasi asumsi tanpa polling ini. Anggap saja hal ini sebagai utak-atik asumsi masyarakat awam yang ndeso dan buta ilmu statistik, namun sahabat Blog I-I akan melihat buktinya dalam polling-polling yang diselenggarakan oleh forum survei yang kredibel dalam beberapa ahad ke depan hingga menjelang pelaksanaan pemungutan suara.

Sementara hasil final atau finalnya cenderung berada di pihak Anies/Sandi yang akan terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru.

Perkiraan ini tentunya dengan pengecualian terjadinya suatu keadaan tertentu dimana para paslon tertimpa persoalan-persoalan baru, baik yang bersumber dari operasi-operasi intelijen, dari kaitan-kaitan kasus-kasus hukum, termasuk blunder pernyataan-pernyataan politik paslon yang mendapat reaksi keras dari masyarakat luas.

Artikel ini bukan proteksi kepada paslon Anies/Sandi, juga bukan penjegalan terhadap paslon Ahok/Djarot, melainkan sebuah asumsi intelijen yang bisa benar namun bisa juga salah. Pembuktiannya silahkan dinantikan hingga bulan April nanti.

Salam Intelijen
Senopati Wirang
Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Ahok/Djarot Vs Anies/Sandi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel