Tentang Propaganda Intoleransi


(sumber ilustrasi: jaminology.com)

Pada 2 Februari 2017, Blog I-I mempublikasikan artikel berjudul Dinamika Toleransi dan Politik Radikal di Indonesia yang telah sedikit membahas masalah intoleransi yang oleh sebagian kalangan dikembangkan untuk menekan kebebasan beropini berdasarkan keyakinan agama, khususnya agama Islam. Ketika pada 11 Oktober 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang merupakan pendapat dan perilaku keagamaan perihal pernyataan Sdr. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, maka serta merta tuduhan keji ditujukan kepada MUI dengan banyak sekali nada yang  mendiskreditkan, salah satunya ialah tuduhan mengembangkan intoleransi dan berpotensi meningkatkan intoleransi umat Islam. Padahal pendapat dan perilaku keagamaan dasarnya ialah Al Quran, Hadist, dan pendapat para ulama yang merupakan ahlinya dalam bidang agama, artinya jauh dari problem politik apalagi niatan bersikap intoleran.


Lebih jauh lagi dan tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi sebagai figur politik tertinggi di Indonesia pada 9 Desember 2016 memerintahkan pembentukan Gugus Tugas (Task Force) atau semacam Tim dalam skala nasional untuk menghadapi/mengatasi intoleransi, kelompok dan gerakan intoleran. Artinya telah ada mandat berupa perintah dari Presiden biar masalah "intoleransi" sanggup segera diredam diatasi.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Dinamika Toleransi dan Politik Radikal di Indonesia,
toleransi pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang maupun kelompok untuk menanggung suatu keadaan tertentu, yang biasanya tercermin dalam perilaku "menerima", "memaklumi", "bersabar",  dan "menahan diri" terhadap keadaan tersebut. Dalam konteks sosial khususnya dalam korelasi antar umat beragama, perilaku menerima, memaklumi, bersabar, dan menahan diri tersebut tidak sanggup ditimpakan kepada salah satu pihak, melainkan sebuah keadaan dinamis sebab-akibat dari keberadaan perbedaan agama dan perilaku para pemeluknya dan langkah-langkah yang mereka tempuh dalam beragama atau melaksanakan acara keagamaan.

Kasus-kasus penolakan pembangunan rumah ibadah yang dibangun ditengah-tengah pemukiman yang lebih banyak didominasi beragama berbeda ialah hal yang wajar, dimana hal yang sama juga terjadi di negara-negara bermayoritas agama tertentu, contohnya di Amerika Serikat dan Eropa lebih banyak didominasi Kristen, maka pembangunan Mesjid relatif jauh lebih sulit, bahkan di Swiss pembangunan menara Mesjid dihentikan resmi oleh pemerintah berdasarkan referendum 2009 dengan kemenangan 57, 50%. Lalu mengapa di Indonesia penolakan pembangunan rumah ibadah dipropagandakan sebagai perilaku intoleran? Hal ini dikarenakan cara dan perilaku penolakan yang dilakukan sebagian anggota masyarakat tersebut cenderung anarkis yang mana tidak terlepas juga dari perilaku kurang tegas pemerintah dalam pengaturan pembangunan rumah ibadah agama apapun. Alih-alih untuk menunjukkan kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh kosntitusi Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah menghadapi suatu keadaan yang dilematis, yakni apabila pembangunan rumah ibadah bebas dilakukan pemeluk agama apapun dimanapun, maka hal itu kurang memperhatikan dinamika sosial lingkungan sekitar yang mungkin akan mencicipi dampak eksklusif dari keberadaan rumah ibadah tersebut yang berpotensi menjadi konflik horisontal. Namun apabila pemerintah melaksanakan pembatasan baik dengan persyaratan-persyaratan lingkungan yang tidak mungkin dicapai kelompok minoritas, maka berarti pemerintah tidak bisa menjamin kebebasan beragama.

Hal ini tidak sanggup disederhanakan bahwa penolakan masyarakat terhadap pembangunan rumah ibadah agama yang berbeda ialah perilaku intoleran atau sebaliknya pembebasan pembangunan rumah ibadah ialah pilihan yang bijaksana. Apa yang perlu diedukasi dari masyarakat Indonesia yang plural ialah penghormatan yang tinggi terhadap aturan dan pelaksanaan yang konsisten dari aturan positif yang berlaku. Misalnya ketika sebuah rumah ibadah telah mendapat izin sesuai mekanisme dan berkekuatan hukum, maka semua pihak yang telah terlibat dalam mengamini pembangunan sebuah rumah ibadah harus sanggup menerimanya, termasuk kelompok masyarakat yang mungkin dalam hatinya masih menolak. Tidak boleh ada seorangpun yang memaksakan kehendak apalagi dengan kekerasan untuk menghambat atau menutup rumah ibadah. Sebaliknya, apabila proses untuk membangun rumah ibadah tidak memenuhi persyaratan hukum, maka pemerintahlah yang harus menutupnya atau bahkan merubuhkannya dan semuanya berdasarkan pada aturan yang berlaku.

Persoalan yang paling fundamental di Indonesia ialah bahwa proses pembangunan rumah ibadah sering dilakukan dengan potong kompas, sogok menyogok, atau tanpa konsultasi dan obrolan yang cukup, artinya terjadi upaya-upaya licik pengelabuan kepada masyarakat perihal pendirian sebuah rumah ibadah, sesudah itu pemerintah juga kurang tegas dalam mengambil keputusan hingga alhasil terjadi agresi oleh masyarakat baik berupa demontrasi, maupun hingga agresi kekerasan dengan pembakaran dan lain sebagainya. Kesanggupan pemerintah menegakkan aturan perihal pendirian rumah ibadah secara konsisten ialah kunci dari harmoni masyarakat dalam menyikapi pembangunan rumah ibadah agama apapun. Hal ini setidaknya sanggup mengurangi benih-benih intoleransi dari suatu keadaan dinamis di masyarakat. 

Fenomena di Indonesia bahwasanya tidak terlalu unik dimana gairah beragama merasuk ke dalam banyak sekali peri kehidupan yang juga masuk ke ruang perilaku saling curiga antar umat beragama khususnya antara Islam dan Katolik lantaran kuatnya elemen dakwah penyebaran aliran masing-masing yang berpotensi memurtadkan kelompok yang satu dengan yang lain atau dalam bahasa agama menyelamatkan insan ke dalam aliran agama yang diyakini benar. Singkat kata ada semangat ekspansif. Perhatikan bagaimana contohnya umat Hindu Bali yang relatif lebih adem ayem, jangankan membuatkan aliran Hindu Bali, apabila anda ingin masuk ke dalam agama Hindu Bali tidak semudah masuk Katolik atau masuk Islam. Demikian pula dengan aliran Buddha dan Konghucu yang relatif tidak segencar dakwah kelompok Islam dan Katolik di Indonesia.

Umat Islam Indonesia yang secara umum moderat memang sanggup dikatakan bersahabat dengan definisi abangan Clifford Geertz dalam the religion of Java. Justru lantaran huruf abangan tersebut ketika seseorang dalam kategori abangan mendapatkan "pencerahan" aliran Islam yang cenderung radikal menjadi berbahaya. Berbeda apabila anda seorang yang benar-benar mendalami Islam secara utuh lahir dan bathin. Mereka yang mengambil langkah-langkah radikal pemaksaan bahkan hingga kepada pembunuhan sebagaimana kasus yang menimpa penganut Ahmadiyah dan Syiah terperinci belum memahami Islam secara benar dalam konteks bathiniah lantaran membunuh atau menumpahkan darah insan tanpa alasan yang besar lengan berkuasa (membela diri dan keluarga/perang) ialah berdosa.

Kaum santri yang sanggup dikatakan minoritas-pun mengalami suatu kondisi marjinalisasi dalam kehidupan sosial ekonomi lantaran skill terbaiknya hanya di bidang ilmu agama. Dengan pengecualian santri jebolan pesantren modern menyerupai Gontor dan beberapa yang lainnya, maka santri-santri jebolan pesantren yang lebih kecil dan kurang modern hampir tidak dilengkapi dengan skill yang cukup untuk sukses secara kehidupan duniawi. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan sehingga tidak sedikit santri yang menempuh jalan radikal lantaran keyakinannya pada kehidupan akhirat. Secara kepercayaan keseimbangan antara kehidupan dunia dan alam abadi merupakan jalan terbaik yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dimana sebagai rujukan dia berdagang (business/ekonomi), berdakwah (menyebarkan aliran Islam), dan juga berpolitik (pemimpin umat). Keseimbangan tersebut memerlukan kualitas-kualitas yang harus dibangun semenjak masa pendidikan. Artinya pesantren-pesantren yang tidak melengkapi bekal kehidupan dunia dan alam abadi perlu direformasi biar tercipta lulusan-lulusan yang unggul baik untuk kehidupan duniawinya maupun kebutuhan akhiratnya.

Labelling intoleransi kepada kelompok Islam sebut saja contohnya Front Pembela Islam - FPI (contoh kelompok lainnya cukup banyak dengan kata kunci penegakan syariah) tidak akan efektif, malahan justru semakin memperkuat perilaku intoleran lantaran FPI akan semakin terpojok dalam suatu keadaan yang diyakini oleh para pengikut FPI sebagai keadaan terzalimi. Hal serupa sudah ratusan atau bahkan ribuan kali dilakukan oleh Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru dalam memarjinalkan umat Islam biar tunduk patuh kepada pemerintah. Akibatnya mereka yang sudah radikal menjadi gerakan bawah tanah dan menempuh langkah terorisme. Pemerintahan demokratis Pancasila boleh berbangga telah melemahkan terorisme, tetapi jangan lupa akarnya bukan semata-mata pada radikalisasi agama, melainkan kepada ketersediaan sumber daya insan Muslim yang gampang dibajak menjadi radikal lantaran ketidakseimbangan tadi baik dari kelompok abangan maupun santri.

Singkat kata, bagi kelompok-kelompok Islam yang mengalami labelisasi intoleran hal itu merupakan kristalisasi tantangan terhadap keimanan mereka dan dampaknya justru akan semakin tidak toleran. Ingat toleransi adalah  kemampuan seseorang maupun kelompok untuk menanggung suatu keadaan tertentu. Sehingga apa yang dialami individu maupun kelompok Muslim yang dituduh intoleran ialah mereka tidak lagi bisa menanggung keadaan dimana keyakinan keagamaan mereka terganggu. Keyakinan keagamaan ialah hal yang paling fundamental bagi seseorang yang religius dan tidak sanggup ditawar-tawar. Berbeda apabila anda tidak mempunyai keyakinan keagamaan yang sungguh-sungguh, contohnya orang-orang Islam yang tidak pernah menyentuh Al Alquran atau menegakkan Shalat, orang Katolik yang hanya beribadah ketika Natal dan Paskah, dan seterusnya.

Mengapa Blog I-I berulangkali mengkritisi propaganda intoleransi yang dilakukan pemerintahan Jokowi? Hal ini bukan menentang atau menganggap propaganda intoleransi tersebut salah. Sebagai bangsa yang multi-etnis, multikultur dan multi-agama tentunya level toleransi masyarakat diperlukan cukup tinggi dalam mencegah terjadinya perpecahan.  Kritik utama Blog I-I ialah pada pemanfaatan politik dari propaganda intoleransi yang menargetkan kelompok-kelompok Islam yang dilabel sebagai kelompok radikal oleh pegawanegeri keamanan khususnya intelijen dan polisi. Misalnya ketika kemarin secara masif dilakukan untuk memenangkan paslon Ahok-Djarot. Beruntung bahwa jaring Blog I-I sangat efektif melaksanakan penyeimbangan di banyak sekali pelosok Jakarta, sehingga propaganda intoleransi tersebut sanggup diluruskan. Apabila propaganda intoleransi dilandasi oleh kejujuran niat dan upaya memelihara persatuan dan kesatuan tentu Blog I-I akan mendukung penuh.

Kepada kelompok Islam atau gerakan-gerakan yang sudah terlanjur mendapatkan label tidak toleran menyerupai FPI, HTI, FUI, dan yang menyerupai lainnya, mohon kiranya sanggup mengerti betapa pentingnya memelihara korelasi baik sesama warga negara Indonesia dalam kerangka aturan nasional Indonesia.  Anda semua berhak memberikan pendapat dalam kerangka demokrasi, namun hal itu tidak berarti anda sanggup memaksakan kehendak melaksanakan apapun termasuk menyerukan revolusi yang berdasarkan Blog I-I kurang sempurna untuk Indonesia. Dalam level tingkat radikalisme ormas Islam menyerupai FPI, HTI, dan FUI jauh lebih toleran dan moderat bila dibandingkan dengan Jemaah Islamiyah atau Mujahidin Indonesia Timur dan Barat dan organisasi yang dicap teroris lainnya. Oleh lantaran itu, peranan ormas Islam dalam membuat harmoni korelasi sosial menjadi sangat penting dan sanggup mempengaruhi dinamika keamanan apakah menuju kebaikan ataukah menuju kepada konflik. Hal ini juga tidak berarti anda harus duduk manis di rumah beribadah saja dan menjadi masa kurang berilmu dengan perkembangan sosial politik yang merugikan umat Islam. Kuncinya ialah keseimbangan, yakni seimbang dalam mengajukan gagasan bernuansa Islami dengan kondisi sosial masyarakat yang mungkin siap mungkin juga tidak siap menerimanya. Mendambakan Indonesia menjadi negara yang menegakkan syari'at Islam ialah keinginan yang mulia, namun ketika proses mewujudkannya harus melalui konflik dan pertumpahan darah ialah keniscayaan yang belum tentu membawa berkah kepada umat Islam, sebaliknya justru sanggup menjadi bumerang tajam yang semakin mempersempit ruang gerak umat Islam secara umum. Misalnya menimbulkan ketakutan yang tidak perlu. Anda boleh-boleh saja tidak peduli dengan ketakutan-ketakutan mereka yang beriman lemah dalam keIslamannya, anda mungkin juga mengabaikan pendapat mereka yang anti syari'at Islam, anda mungkin juga sangat membenci kaum munafik Muslim yang justru bersuara keras menolak syari'at Islam. Kehendak Allah selalu mendahului kehendak manusia, bila Allah berkehendak tentunya Indonesia ialah negara Islam dengan lebih banyak didominasi penduduknya yang Muslim.

Allah SWT berfirman:

“Kalau Allah Menghendaki, pasti kau Dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak Menguji kau terhadap karunia yang telah Diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah 48) 

Perbedaan yang ada di Indonesia ialah juga ujian, baik untuk bersabar, untuk berjuang, untuk meneguhkan keimanan, untuk banyak sekali hal positif yang sanggup kita tempuh selama hidup di dunia ini yang pada dasarnya ialah untuk berbuat kebajikan. Blog I-I tidak bermaksud berceramah bagaikan menaburkan garam di lautan. Namun perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan masak-masak dalam anda berjuang biar tidak berlebihan dan menjadi sangat attraktif untuk "dimusuhi" oleh mereka yang anti syari'ah Islam. Blog I-I yakin anda tidak takut dimusuhi, persoalannya bukan soal takut atau tidak takut. Melainkan lebih kepada perhitungan tingkat keberhasilan, yakni selama umat Islam Indonesia belum rajin membaca AL Alquran setiap hari, penegakkan syari'ah hampir menjadi mustahil. Andaipun anda menang dan behasil baik melalui demokrasi menyerupai di Turki maupun melalui konflik menyerupai di sejumlah negara Arab, maka lebih banyak didominasi umat Islam masih "enggan" diatur secara aturan Islam lantaran belum terbiasa dan memerlukan proses transformasi yang tidak singkat. Andaipun ketika ini anda mengklaim mempunyai jutaan pengikut, maka ada puluhan atau bahkan ratusan juta yang tidak sepaham dengan anda. Artinya dakwah anda belum berhasil, dan sebuah proses pemaksaan ilham hampir selalu hancur di tengah jalan lantaran ketidaksiapan masyarakat untuk menerimanya.

Dalam kaitan itu, Blog I-I belum membahas bagaimana musuh-musuh Islam sejati akan mengambil langkah-langkah strategis dan taktis yang juga tidak kalah mengerikan seperi terjadi di Poso dan Ambon. Sekali lagi, Blog I-I yakin anda tidak takut, dan persoalannya bukan di situ. Persoalannya ialah realitas sosial dan politik yang rasional yang akan bergerak ke tengah menuju kepada moderasi sistem sosial politik yang telah laksanakan semenjak Indonesia merdeka ialah pilihan yang sementara ini didukung penuh lebih banyak didominasi bangsa Indonesia. Hal itu bukan mengabaikan Islam, melainkan sebuah pemahaman yang mendalam perihal Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana dilakukan pimpinan Muhammadiyah, NU, dan sebagian besar ormas Islam ketika Indonesia merdeka dan setuju membentuk Republik Indonesia. Sebuah negara Republik yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius.

Salam Intelijen
Senopati Wirang

Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Tentang Propaganda Intoleransi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel