Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (Hti)


Sebuah kebijakan anti-demokrasi yakni memberangus kebebasan berkumpul, berorganisasi, dan bependapat kesannya ditempuh Pemerintahan Jokowi. Korban pertama yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebuah ormas Islam yang masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya pada kurun 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir tersebut merambah ke masyarakat, melalui banyak sekali acara dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan (sumber: HTI). HTI yang terdaftar di KemenkumHAM dengan status sebagai tubuh aturan “perkumpulan” NO: AHU-00282.60.10.2014 merupakan korban dari kegeraman politik alasannya yaitu kekalahan partai politik penguasa yang menjadi sangat khawatir dengan pilpres 2019 yang telah diramalkan Blog I-I akan menjadi sejarah kekelahan telak Presiden joko widodo jikalau maju lagi.

Pemerintah sangat tergesa-gesa alasannya yaitu secara sepihak dan politis mengambil kebijakan yang tidak demokratis tersebut. Hal ini contohnya kita sanggup melihat tidak adanya langkah-langkah pembuktian aturan maupun proses obrolan dan pendekatan persuasif. Boleh jadi alasan anti-Pancasila ada benarnya, yakni dalam rangka mencegah membesarnya gerakan pendukung Khilafah yang berarti mengganti Pancasila dengan ideologi Islam yang dianut lebih banyak didominasi bangsa Indonesia. Namun demikian, sejauh mana ancaman gerakan HTI yang menyatakan diri sebagai parpol namum tidak ikut pemilu dan bergerak di luar sistem politik Indonesia tersebut?

Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina dengan fokus usaha membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh ulama alumni Al Azhar Mesir, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir sekarang telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika ibarat Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Kontroversi Hizbut Tahrir dalam posisinya yang selalu oposisi dengan pemerintah di banyak sekali negara telah mengakibatkan HT juga tidak boleh di sejumlah negara. Tentu sangat gampang dan ringan bagi Pemerintahan Jokowi untuk memberantas HTI hingga ke akar-akarnya dengan pembubaran atau pelarangan.

Pesan paling penting, paling mendasar, dan paling utama dari pembubaran HTI yaitu sebagai pola bagi siapapun orang Indonesia yang mengaku Islam untuk jangan coba-coba menempuh gerakan Islam Politik yakni mencita-citakan terbentuknya Khilafah atau Negara Islam. Namun alasan yang dikemukakan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto yaitu sbb:
  1. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak mengambil kiprah positif untuk mengambil potongan dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. ---> Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan pengkajian Islam, dakwah, sosial, dan lain-lain yang dilakukan HTI tidak diakui sebagai potongan dari proses pembangunan masyarakat.
  2. Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi berpengaruh bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang menurut Pancasila dan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2013 wacana ormas. ---> Dapat disimpulkan bahwa seluruh kegiatan HTI yaitu anti-Pancasila walaupun HTI tidak tercatat melaksanakan pelanggaran aturan berupa terorisme, pembunuhan, makar, dan lain sebagainya.
  3. Aktivitas yang dilakukan HTI faktual telah menjadikan benturan di masyarakat yang pada gilirannya sanggup mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan Indonesia. ---> Merujuk kepada dinamika politik nasional yang belakangan ini terjadi, maka arahnya yaitu kegagalan Pemerintahan Jokowi melindungi Ahok dari blunder penistaan agama dan kekalahan telak Ahok yang dibalas dengan intimidasi politik terhadap gerakan politik Islam.
Apakah berarti jaringan Blog I-I mendukung HTI atau telah kesusupan orang-orang HTI yang tersebar luas diberbagai lapisan masyarakat hingga elit politik dan pemerintahan? Jawabnya TIDAK.

Blog I-I yang ketika ini juga dimusuhi Intelijen Resmi dan Polisi Republik Indonesia namun tetap bersahabat dengan Tentara Nasional Indonesia merasa prihatin dengan cara-cara Pemerintahan Jokowi menuntaskan masalah justru melahirkan masalah baru. Sepintas dengan membungkam aspirasi masyarakat tampak menuntaskan masalah, namun bergotong-royong justru membuat sebuah rangkaian problem yang akan semakin besar dan pada saatnya pemerintah akan resah mengapa konflik menjadi semakin meruncing dan kemudian pecah menjadi konflik besar.

Cita-cita 100 Tahun Indonesia dengan angan-angan menjadi negara besar dengan perekonomian yang kuat, sejahtera merata dan bermoral agama akan kandas di tengah jalan apabila pemerintah dalam mengatasi problem memakai pendekatan yang tidak demokratis. Kekecewaan demi kekecewaan akan bertumpuk dari waktu ke waktu yang pada gilirannya akan melahirkan perilaku apatis terhadap pemerintah bahkan menjadi antipati. Ketidakadilan demi ketidakadilan hanya alasannya yaitu untuk melindungi kelompok tertentu atas nama Pancasila tidak ada bedanya dengan cara-cara yang ditempuh Pemerintah Orde Baru yang kemudian pada kesannya meledak di penghujung tahun 1990-an.

Alasan anti-Pancasila yaitu sebuah proses stigmatisasi yang ketika ini sangat kelihatan menargetkan ormas-ormas Islam yang kemarin bergerak memenangkan pasangan Anies/Sandi dalam pilkada Jakarta. Tanpa suatu proses yang transparan dan sanggup dibuktikan obyektifitasnya, Kemenkopolhukam melaksanakan klaim atas dasar aspirasi masyarakat dan aturan yang berlaku membubarkan HTI. Namun apakah Kemenkopolhukam juga mendengarkan aspirasi dan klarifikasi pihak-pihak yang eksklusif terkena dampak (HTI) maupun pihak yang lebih netral ibarat MUI dan pakar tokoh-tokoh Islam yang mumpuni yang mungkin berbeda-beda pandangannya. Menurut sumber Blog I-I, prosesnya cepat dan sangat tidak transparan.

Artinya apa? ada kekuatan tertentu yang mendesak ditempuhnya sebuah kebijakan fasis atau yang lebih halusnya diktatorial yang menargetkan kelompok masyarakat tertentu. Siapakah kekuatan tersebut? Silahkan anda cari sendiri alasannya yaitu pastinya teramat sangat diam-diam dan besar kekuatannya.

Fenomena kebijakan anti-demokrasi yang ditempuh Pemerintahan Jokowi dengan membubarkan HTI mengawali rangkaian analisa asumsi kekalahan Jokowi dalam Pilpres 2019 sebagaimana telah dinyatakan Blog I-I pada 19 April yang lalu.

Berikut ini logika berpikir kritis yang dikembangkan jaringan Blog I-I dalam menatap dan mengintip kabut masa depan Indonesia:
  1. Sesungguhnya Presiden Jokowi cukup baik dan cakap dalam melaksanakan tugasnya sebagai Presiden dan khususnya dalam kesederhanaan berpikir untuk memajukan Indonesia melalui program-program pembangunan, kerja nyata, dan relatif higienis dari kepentingan keserakahan pribadi dan keluarganya. Kita patut bersyukur dengan pemimpin yang mempunyai huruf yang baik tersebut. 
  2. Persoalan utama Presiden Jokowi yaitu pada lemahnya taktik jangka panjang memelihara harmoni sesama anak bangsa Indonesia berdasarka demokrasi. Strategi kadang tampak sederhana namun lebih sering menjadi kompleks dan rumit alasannya yaitu kalkulasi yang matang memerlukan proses kerja faktual Intelijen dengan isu yang akurat serta penggalangan yang efektif. Sepintas kemudian kebijakan menurut pada wacana ANTI-PANCASILA tampak baik dan efektif dan sempurna sasaran serta akan meredam banyak sekali tekanan masyarakat yang membuat perpecahan. Namun konteks dan waktunya sangat salah, yakni ketika nuansa kontestasi politik pilkada masih sangat segar dalam ingatan kita dan bahkan dalam pilkada 2018 akan kembali membahana.
  3. Terjadi semacam perasaan "tidak aman" (insecure) pada pemerintah alasannya yaitu pertama masih kurang solidnya leadership Presiden Jokowi yang seharusnya tercermin dari kepatuhan para pembantunya termasuk Wapres JK. Sesungguhnya perbedaan pendapat, kepentingan, dan kalkulasi politik dalam Pemerintahan Koalisi yaitu hal yang biasa dan tidak perlu membuat kekhawatiran yang berlebihan. Selain itu, fenomena Aksi Bela Islam semenjak tahun kemudian yang menyerap perhatian bangsa Indonesia khususnya umat Islam juga memposisikan seperti mereka yang menuntut keadilan terhadap Ahok yaitu juga oposisi Pemerintahan Jokowi, padahal belum tentu. Kekeliruan analisa tersebut yang dilakukan oleh intelijen dan polisi mengakibatkan kegamanangan bagaimana mengatasinya? Langkah yang paling mudah: BUBARKAN saja! Masalah Aksi Bela Islam bergotong-royong sanggup meningkatkan kepercayaan umat Islam kepada Presiden Jokowi andaikata Ahok direlakan untuk diadili seadil-adilnya tanpa intervensi politik kekuasaan yang berlebihan. Meskipun Ahok cakap dalam memimpin DKI dan dinilai berhasil, Ahok kurang layak dibela secara berlebihan alasannya yaitu sikapnya yang sombong dan tidak mengerti terima kasih serta cenderung memancing konflik (baca: Arogansi Ahok).  
  4. Nasi sudah menjadi bubur, Ahok dibela habis-habisan. Wacana yang dibangun pemerintah bersama pendukung Ahok dalam membela Ahok yaitu kebhinnekaan, toleransi, pluralisme, dan Pancasila. Disadari atau tidak pembelaan tersebutlah yang membuat perpecahan alasannya yaitu dihadapkan dengan Islam. Entah siapa yang paling piawai dalam permainan politik ini, kesannya hal itu terus bergulir secara liar yang semakin menurunkan kepercayaan sebagian umat Islam terhadap kepemimpinan Ahok dan kemudian terbukti dengan kekalahan telak Ahok sebagaimana telah diramalkan Blog I-I tidak usang sesudah Ahok melaksanakan blunder pernyataan yang menyinggung umat Islam. Lanjutan dari benturan Islam dengan Pancasila tersebut yaitu peningkatan rasa saling curiga yang semakin tegas. Bahwa telah terjadi politisasi atas nama agama di satu sisi dan politisasi atas nama Pancasila di sisi lain. Masing-masing pihak merasa benar dan mempunyai tujuan yang benar pula, dan ketika perasaan benar tersebut saling bertabrakan maka potensi konflik mengkristal. Hanya masalah waktu saja akan terjadi peristiwa alam baik dari level terendah berupa perdebatan yang dilandasi rasa "permusuhan" hingga level tertinggi berupa pertumpahan darah. Kunci pencegahan pertumpahan darah ada di tiga organisasi keamanan yakni TNI, Polisi Republik Indonesia dan Intelijen. Kemudian kunci untuk menghilangkan rasa "permusuhan" ada di banyak sekali simpul sosial di masyarakat.
  5. Penistaan agama, defamasi, blasphemy, atau apapun istilahnya tidak seharusnya memecah belah rakyat Indonesia. Biasanya masalah penistaan agama menimpa individu atau kelompok kecil yang nyeleneh menyimpang dan mengganggu kenyamanan beragama di Indonesia. Benar bahwa dosa Ahok tidak sebesar dosa tokoh atau kelompok pedoman sesat yang menyesatkan masyarakat dengan tipu muslihat yang merugikan secara materil dan immateril bahkan kadang korban jiwa. Dosa Ahok hanya blunder bicara saja, yang berhasil dikapitalisasi lawan politik untuk mengalahkan Ahok. Adakah yang salah dengan kapitalisasi kelemahan Ahok? Tidak, hal itu sah secara aturan dan politik dan demokratis. Sebuah fenomena yang juga ekstrim yaitu pada kampanye membesar-besarkan Ahok seolah sebagai pendekar tanpa menyinggung kesalahan Ahok. Meniadakan elemen kesalahan Ahok berupa blunder pernyataan, sama saja dengan menghina seluruh umat Islam Indonesia. Diperlukan kearifan dalam berpropaganda dan menyatakan pendapat. Misalnya posisi Blog I-I semenjak 9 bulan yang silam yaitu bahwa Ahok "salah" dalam kategori mengeluarkan ucapan/ujaran yang tidak patut di depan publik atau salah bicara atau blunder pernyataan saja. Namun alasannya yaitu tidak ada itikad baik yang sungguh-sungguh dari Ahok untuk menyadari kesalahan "kecil" tersebut, maka oleh lawan politik Ahok berhasil dikapitalisasi menjadi gerakan sosial yang besar di seluruh Indonesia. Hal itu bukan saja semata-mata untuk pilkada DKI Jakarta, melainkan juga untuk pilkada di banyak sekali tempat dan juga menjadi genderang awal untuk pilpres 2019. Sikap defensif Pemerintah dan para pendukung berat Ahok terlalu kentara dan berlebihan serta sangat memaksakan pendapat baik secara simbolis dalam bentuk karangan bunga maupun kampanye di media umum dan seluruh media mainstream nasional cetak dan elektronik. Justru semua upaya-upaya tersebutlah yang menkristalkan rasa "permusuhan" di antara anggota masyarakat. Sayangnya Pemerintahan Jokowi tidak bisa melihat itu semua. Ujungnya yaitu mengulangi pola pendekatan Orde Baru dengan label, stigmatisasi, dan marjinalisasi terhadap gerakan Islam politik yang secara teori akan mendorong kegiatan mereka ke bawah tanah dan bahkan cenderung menguatkan radikalisasi dan terorisme.  
  6. Dua dampak lanjutan dari dinamika yang membenturkan Pancasila dengan Islam: (a) Sebagian kecil kelompok Islam pendukung syari'ah mengalami eforia dengan kebablasan mengkampanyekan Khilafah secara masif melalui media umum atau bisa juga justru dilakukan oleh mereka yang anti-Islam biar kelompok Islam dihantam oleh Pemerintahan Jokowi, dan  (b) Semakin dalamnya rasa saling curiga antara pihak yang mengatasnamakan agama Islam dan mereka yang secara politik mengatasnamakan kebhinnekaan yang terkristalisasi selama pilkada DKI Jakarta, serta imbas domino yang mulai terasa di banyak sekali tempat di Indonesia.   
  7. Alih-alih mengembalikan harmoni masyarakat khususnya secara sosial dan politik, Pemerintahan Jokowi mendapat masukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat wacana posisi penting Pancasila sebagai ideologi negara. Kebetulan sebagaimana tampak pada nomor 6, banyak sekali bentuk sosialisasi Khilafah yang belum tentu dilakukan oleh HTI dkk menjadi sangat banyak belakangan ini tersebar cepat baik dalam bentuk video, gambar, goresan pena melalui banyak sekali aplikasi sosial media. Tiba-tiba tercipta kesan adanya ancaman terhadap Pancasila, jawabannya yaitu terjadi peningkatan ancaman dari kelompok-kelompok yang dilabelkan secara sepihak oleh pemerintah sebagai anti-Pancasila. Kemudian pengkajian Kemenkopolhukam menghasilkan keputusan membubarkan HTI.
  8. Bumbu penyedap proses pembenturan Pancasila dengan Islam yang paling berbahaya bergotong-royong yaitu pihak-pihak yang memfasilitasi biro absurd Allan Nairn dengan propaganda jahatnya. Belakangan ditengarai bahwa telah terjadi Sandiwara Allan Nairn dan Soleman Ponto mantan Kepala BAIS yang memberikan terjadinya kesan insiden MAKAR terhadap Pemerintahan Jokowi. Bahkan beberapa Jenderal aktif yang ingin menggulingkan kepemimpinan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo juga ikut serta membuat cerita-cerita makar. Untuk lebih jelasnya silahkan ditanyakan kepada Soleman Ponto yang sudah kelewatan dalam mengkondisikan keadaan yang memojokan kelompok-kelompok Islam melalui Allan Nairn. Meskipun Soleman Ponto hanya pion kecil saja, namun sebagai mantan Kepala BAIS tentu cukup besar pengaruhnya. Sedihya Allan Nairn masih terus difasilitasi untuk membuatkan propaganda jahatnya contohnya melalui Kompas TV bersama Aiman Witjaksono pada Senin 8 Mei 2017 jam 20.00.
Delapan poin tersebut yaitu satu rangkaian insiden yang ke depan akan semakin melemahkan Presiden Jokowi dalam pilpres 2019, dengan logika sbb:
  1. Masyarakat khususnya umat Islam terlepas apakah mereka radikal atau moderat, pendukung Khilafah, Islam tradisional, Islam modern, Islam politik, Islam KTP, Islam munafikun, Salafi-Wahabbi, NU, Muhammadiyah, Persis, FPI, dan lain-lain akan ingat bahwa selama Pemerintahan Jokowi begitu banyak wacana terkait wacana gerakan Islam. Wacana wacana "Makar" yang dikaitkan dengan Islam dan hoax keterlibatan tokoh Tentara Nasional Indonesia yaitu wacana yang paling sensitif, padahal gerakan Islam yang belakangan ini terjadi sangat jauh dari level gerakan Islam Darul Islam pada tahun 1949-1962. Aksi Bela Islam I, II, II dst juga sangat jauh dari kekecewaan Politik Masyumi di kurun Presiden Sukarno. Hal itu sangat menyakitkan dan bahkan berpotensi menarik minat kelompok Islam moderat untuk berhati-hati dengan Presiden Jokowi. Kemudian terjadi juga kriminalisasi ulama baik dengan rekayasa "makar",  operasi intelijen yang menimpa Habibe Rizieq dengan tuduhan skandal seks, dan penyadapan pembicaraan Ketua MUI dengan Preside ke-6 SBY. Dalam kalkulasi dan analisa Blog I-I, ketika ini hanya umat Islam dalam NU dan PKB yang masih sedikit bersimpati dengan langkah-langkah Presiden Jokowi secara umum. Sebagian tokoh NU khususnya di kalangan pesantren modern NU sudah kurang percaya dengan Jokowi, sehingga Jokowi akan akan sangat bergantung kepada Ketua PKB, Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2019 nanti. Kebijakan membubarkan HTI sangat disayangkan langkahnya kurang pas, yakni melalui keputusan politik dulu gres kemudian menempuh jalur hukum. Seharusnya penilaian terhadap HTI tidak melalui Kemenkopolhukam melainkan melalui kajian KemenhukHAM yang kemudian sanggup mengajukan proses aturan pembubaran HTI alasannya yaitu alasan ini dan itu yang sah dan berpengaruh secara hukum. Artinya sangat tertangkap tangan bahwa motivasi pembubaran HTI yaitu keputusan politik yang mendahului proses aturan sehingga sanggup dinilai kurang atau bakan tidak demokratis.
  2. Berangkat dari poin 1, Presiden Jokowi secara khusus dan Pemerintah secara umum kehilangan simpati dari kelompok masyarakat yang merupakan anggota HTI, dan mereka yang bersimpati terhadap HTI. Mungkin jumlahnya hanya jutaan dan masih dibawah 10 juta orang. Namun demikian, perasaan senasib dari "ketidakadilan" Pemerintah akan memperbesar jumlah tersebut dan sulit dipastikan mencapai berapa % dari jumlah penduduk Indonesia. Ketidakadilan yang dimaksud yaitu dalam keterkaitan dengan masalah penistaan agama oleh Ahok dan hubungannya dengan pembubaran HTI. Meskipun akan dibantah habis-habisan, namun urutan waktu dan fakta terjadinya insiden pembubaran HTI paska kekalahan Ahok sulit dipisahkan. Seandainya tidak ada kontestasi panas pilkada Jakarta, tentu pengkajian dan penilaian terhadap HTI akan jauh lebih higienis dan netral dari unsur politik kekuasaan.
  3. Meskipun secara politik kenegaraan, yaitu sah dan benar untuk ditempuh suatu langkah pencegahan terhadap perkembangan faham yang sanggup melemahkan ideologi negara Pancasila, namun cara mengatasi rongrongan terhadap ideologi Pancasila tersebut sanggup dikatakan tidak demokratis dan kurang sempurna dan malahan akan menjadi bumerang bagi Pemerintahan Jokowi. Kurang konsistensi dalam menerapkan prinsip dasar demokrasi yang menghargai perbedaan termasuk ideologi ini merupakan faktor krusial yang sanggup dikapitalisasi dalam wacana "Pemerintahan Jokowi Anti-Islam". Hal itu merupakan reaksi logis dari labelisasi Anti-Pancasila. Demikian besar ancaman pembenturan Pancasila dengan Islam, maka Blog I-I merasa perlu memberikan koreksi biar pendekatan Pemerintah lebih hati-hati.
  4. Apakah hanya kelompok Islam saja yang menyoroti kebijakan pemerintah? Tidak, mereka yang jujur memperjuangkan demokrasi di dalam hati kecilnya juga tidak oke dengan cara-cara labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Meskipun kelompok yang diberikan label tersebut terbukti melaksanakan kegiatan yang berbahaya, pendekatan aturan harus berada di depan, sehingga tertutup ruang tuduhan terjadinya politisasi oleh Pemerintah.
  5. Apabila oposisi pintar, memanfaatkan dinamika sosial-politik dan blunder kebijakan Presiden Jokowi memerlukan keahlian analisa dampak dan propaganda yang halus. Hal ini untuk menghindari sorotan dari publik secara luas yang melihat oposisi sebagai oportunis belaka yang memanfaatkan masalah-masalah nasional tanpa ada solusi yang lebih baik. Oposisi harus melaksanakan kajian seksama untu memperlihatkan solusi yang lebih sempurna selagi Pemerintah melaksanakan sejumlah blunder. Tentunya bahasa-bahasa politis dengan sindiran halus dan sudah cukup dan apabila hal ini terus terulang dan terpelihara hingga 2019, maka dalam polling menjelang Pilpres 2019 nanti akan terbukti penurunan elektabilitas Presiden Jokowi.
  6. Hanya menurut faktor Islam saja, Presiden Jokowi akan mengalami masalah dengan elektabilitasnya. Terlalu banyaknya posisi-posisi penting yang diberikan kepada mereka yang kurang memperhatikan kepentingan umat Islam sudah menjadi faktor penting, ditambah perkembangan wacana ketidakadilan Presiden Jokowi terhadap kelompok Islam. Walauppun yang ditarget yaitu para pembela syari'ah, namun cara dan pendekatannya sangat tidak elegan. Bandingkan dengan pendekatan makan siang atau makan malam Jokowi dengan diskusi terbuka dengan kelompok lain. Mengapa tidak ada sama sekali upaya obrolan dengan mereka yang dilabel anti-Pancasila.
  7. Tindak saran untuk Pemerintah, perbaiki kebijakan dan langkah-langkah strategis dan taktis dalam menghadapi gerakan Islam pendukung syariah dengan tekanan biar patuh kepada hukum. Proses aturan jauh lebih sanggup dipertanggungjawabkan daripada keputusan politik yang rawan penyalahgunaan dan sorotan publik. Ketegasan untuk menjaga keutuhan NKRI dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sangat diperlukan, namun tidak berarti mengorbankan proses dan cara-cara yang demokratis. Hal ini juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya situasi kontra produktif dari keputusan politik sanggup ditafsirkan macam-macam.
Semoga artikel Blog I-I ini tidak diartikan sebagai rongrongan, atau perilaku Anti-Pemerintah. Meskipun Blog I-I diblokir pemerintah atas masukan dari BIN, dimusuhi Intelijen resmi dan Polisi, namun Blog I-I akan tetap berkarya memberikan analisa kritis, bukan untuk kekuasaan, uang, ataupun popularitas, tetapi untuk kejayaan Indonesia baik ketika ini maupun di masa mendatang.

Salam Waskita, Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (Hti)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel