Memecah Belah Persatuan Indonesia: Sebuah Skenario Jahat



Strategi Divide et Impera - Divide and Rule - Divide and Conquer yang konon pertama kali dikembangkan oleh Philip dari Macedonia sangat sukses diterapkan oleh Kerajaan Hindia Belanda ketika menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang kini bersatu menjadi Republik Indonesia. Banyak perdebatan perihal berapa usang sesungguhnya kekuatan politik dan sosial di seluruh Kepulauan Nusantara berada didalam genggaman Belanda, rakyat Nusantara diperas, dieksploitasi, diperkosa, dibunuhi, dan hidup dalam kehinaan, kemiskinan dan dibayangi janjkematian dari hari ke hari. Artikel hari ini mencoba melihat kembali bagaimana sebuah taktik memecah-belah konsentrasi kekuatan yang besar Nusantara ke dalam kekuatan-kekuatan kecil yang lebih gampang dkendalikan/dikontrol penjajah tersebut sangat mungkin untuk terjadi kembali di bumi tercinta Indonesia.
Aksi-reaksi kelompok-kelompok kekuatan di dalam negeri suatu negara ialah hal yang masuk akal dalam demokrasi dimana hal itu selalu berlandaskan kepada kepentingan kelompok. Namun demikian, dalam dinamika melaksanakan agresi yang biasanya berupa penyampaian aspirasi, usulan, atau kehendak tersebut ada koridor dan aturan mainnya. Demikian pula dalam memberikan reaksi yang biasanya berupa sikap, aspirasi, atau posisi terhadap suatu agresi juga berada dalam koridor dan aturan main. Dalam konteks Indonesia, koridornya ialah prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan berbangsa yang merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila serta aneka macam perundang-undangan di bawahnya. Sementara aturan mainnya ialah aturan positif yang berlaku di Indonesia. Secara teori, jikalau semua pihak yang merasa perlu melaksanakan agresi dan reaksi tersebut berada di dalam koridor dan aturan main, maka tidak akan terjadi petaka besar berupa konflik terbuka ataupun perpecahan di masyarakat.

Mengapa belakangan ini menjadi semakin marak terjadi penyampaian aspirasi yang cenderung "memaksakan" kehendak? Kemudian seiring dengan itu juga terjadi penyampaian reaksi yang juga cenderung "memaksakan" kehendak? Beberapa kejadian bahkan mencerminkan adanya proses akumulasi emosi yang bersumber dari kepentingan sempit kelompok, kekecewaan, kecurigaan, kemarahan, bahkan kebencian. Aksi dan reaksi tersebut yang lebih mengerikan lagi ialah oleh masing-masing pihak diklaim menurut kepada keyakinan-keyakinan, khususnya keyakinan beragama. Dalam sejumlah kesempatan kadang juga diwarnai oleh identitas-identitas khusus menyerupai etnisitas dan ideologi. Perlu ditegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan keyakinan dan identitas tersebut, namun lantaran terjadi eksploitasi perbedaan menurut kepada keyakinan dan identitas maka muncul apa yang disebut sebagai keadaan merasa "terancam" atau perasaan tidak kondusif (insecurity). Setiap dinamika aksi-reaksi antar kelompok dalam jumlah besar hampir selalu mempengaruhi psikologi massa khususnya di negara-negara yang tingkat individualismenya relatif kecil sedangkan huruf komunalnya besar menyerupai Indonesia. Perasaan tidak kondusif tersebut secara natural akan mendorong munculnya pemikiran untuk selamat, menyelamatkan diri, atau mencapai posisi yang relatif aman. Bagaimana caranya? memanfaatkan segala cara yang tampak sanggup diterima secara demokratis menyerupai pengerahan massa untuk memaksakan "kehendak" tertentu.


Lingkaran aksi-reaksi yang terus-menerus dalam jangka waktu tertentu harus direspon oleh pemerintah dalam rangka meredakan ketegangan di masyarakat. Tujuannya ialah untuk mencegah konflik yang lebih besar menyerupai pertumpahan darah yang terjadi di Sampit, Poso dan Ambon. Sayangnya seringkali pemerintah berada dalam posisi yang bersebrangkan dengan salah satu kekuatan kelompok masyarakat yang melaksanakan aksi-reaksi tersebut. Hal itu sanggup diperparah oleh lemahnya leadership dan adanya perbedaan kepentingan yang tajam di dalam badan pemerintah. Hal ini juga yang terjadi pada pemerintah lokal dan abdnegara keamanan di Ambon sehingga perpecahan mejadi sulit diatasi hingga kesannya terjadi pertumpahan darah dalam waktu yang relatif lama. Dalam kondisi yang saling curiga, hanya dibutuhkan kejadian berdarah dalam skala kecil untuk menyulut kerusuhan atau konflik yang besar.

Dari teori dan rangkaian cara berpikir kritis tersebut diatas, Blog I-I berharap pembaca Blog I-I sanggup menyimak kembali artikel-artikel Blog I-I sebelumnya khususnya semenjak artikel Politik Agama dan Intelijen hingga artikel Pilkada DKI Jakarta: Sebuah Perang Intelijen yang diikuti oleh sejumlah artikel lainnya. Pilkada Jakarta secara khusus menjadi materi analisa Blog I-I lantaran asumsi dampaknya yang kini mulai terasa di aneka macam wilayah Indonesia dimana bibit-bibit perpecahan menjadi semakin kelihatan mulai tumbuh berkembang.

Sepintas kemudian tampak Blog I-I "menyalahkan" Ahok dan menyarankan Pemerintahan Presiden Jokowi dan Parpol pengusung Ahok untuk "merelakan" Ahok sedini mungkin. Apabila sahabat Blog I-I membaca artikel-artikel Blog I-I dengan hati-hati, maka akan menemukan bahwa argumentasi Blog I-I bersifat imparsial menurut fakta dan data serta menitikberatkan kepada pencegahan dan asumsi masa depan. Kaprikornus ketika menganalisa kasus penistaan agama bukan lantaran Ahok pasti bersalah atau lantaran adanya desakan dari sebagian kelompok masyarakat. Mungkin Blog I-I agak keterlaluan atau berlebihan ketika tidak usang sehabis kasus penistaan agama muncul pada 21 September 2016 eksklusif memberikan asumsi bahwa Ahok 100% pasti kalah dalam pilkada DKI Jakarta. Mungkin juga Blog I-I agak keterlaluan lantaran pada 24 April 2017 memberikan asumsi intelijen bahwa Presiden Jokowi akan kalah dalam pilpres 2019 sebagaimana tertulis dalam artikel ini.

Analisa-analisa Blog I-I tersebut lebih menurut kepada pencegahan semakin dalamnya perasaan tidak kondusif dan perilaku saling curiga antar masyarakat. Kondisi inilah yang dalam artikel Mencegah Kehancuran Indonesia Raya digambarkan oleh Blog I-I sebagai potensi makar namun bukan rekayasa kejahatan makar sebagaimana Blog I-I telah berkali-kali mengingatkan Polisi menyerupai pada artikel Pencegahan Makar dan  Klarifikasi perihal Potensi Makar.

Pertanyaan bagi Intelijen ialah apakah semua itu berjalan masuk akal dalam koridor dan aturan main demokrasi dan hukum? Apakah aksi-reaksi tersebut murni sebuah dinamika masyarakat yang mencerminkan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah yang belakangan ini kita lihat sebagai adanya "perpecahan" masyarakat lantaran pilihan politik masih sanggup dikatakan masuk akal dan sanggup diterima sebagai dinamika politik belaka? Ataukah ada kelompok tertentu baik di dalam negeri maupun kekuatan abnormal yang mendorong terjadinya perpecahan sebagaimana teori divide et impera?

Tidak gampang menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Bahkan BIN dan BAIS Tentara Nasional Indonesia pun tidak bisa menjawabnya lantaran faktor SDM yang sangat lemah dengan level pendidikan dan analisa yang juga relatif rendah, gelar operasi yang terbatas, serta penetrasi informasi yang hanya menyentuh kulitnya saja.

Lantas apakah Blog I-I bisa menjawabnya? Blog I-I tidak lebih mahir dari BIN dan BAIS Tentara Nasional Indonesia lantaran SDM Blog I-I juga mantan BAKIN, BAIS Tentara Nasional Indonesia dan Polisi serta swasta yang peduli dengan NKRI. Artinya kami komunitas Blog I-I juga sama gobloknya dengan BIN, BAIS Tentara Nasional Indonesia dan Polisi.

Agak membingungkan juga dalam melihat dan menilai dinamika perpecahan yang membayangi perjalanan bangsa Indonesia belakangan ini. Namun baiklah, mari kita mencoba membedah dan memahaminya dari kacamata intelijen.

Pertama perihal kewajaran. Menurut Blog I-I keseluruhan aksi-aksi massa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah yang membawa pesan kepentingan kelompok yang terkait dengan politik kekuasaan (pilkada) maupun perilaku politik yang berbeda selama tidak dilakukan secara brutal menyebabkan terjadinya kerusuhan berada dalam level wajar. Kita patut berterima kasih dan menghargai kerja berat intelijen, Polisi dan juga santunan Tentara Nasional Indonesia dalam menjaga ketertiban selama terjadinya agresi massa dalam jumlah besar tersebut. Meskipun berada dalam kewajaran, namun kewajaran tersebut telah menyentuh batas kesannya dan hampir tergelincir kepada keadaan tidak wajar. Posisi menuju kepada tidak masuk akal tersebut terindikasi dari isi pesan-pesan yang ikut disuarakan bersamaan dengan pesan-pesan utama. Misalnya dalam kasus Ahok, pesan utama ialah penegakan aturan yang adil, namun pesan-pesan disampingnya ialah pemaksaan berupa penjarakan Ahok atau bahkan pesan yang bernuansa pemaksaan keyakinan dan nuansa-nuansa kebencian.





Hal yang sama juga terjadi dalam aksi massa penolakan Fahri Hamzah di Manado, dimana pesan utamanya ialah warga Manado yang melaksanakan agresi tidak berkenan dengan kunjungan Fahri Hamzah lantaran perilaku dan pernyataan Fahri dinilai kontroversial dan mengundang terjadinya perpecahan. Namun pesan yang tampak selama agresi massa tersebut juga meliputi tuntutan pembubaran FPI, soal Khilafah, Wahabbi, Rizieq, Fadli Zon, Radikalis anti-Pancasila, dlsb. Artinya tidak terhindari bahwa apa yang terjadi di Manado terkait dengan posisi Fahri Hamzah dalam dinamika pro-kontra di Jakarta yang diwarnai isu agama.



Situasi yang menyerupai juga berkembang di beberapa kawasan lain menyerupai pengusiran ustadz Shobri Lubis dan demo terhadap Gubernur Kalbar, Cornelis.

Sampai ketika artikel ini ditulis, dinamika aksi-reaksi masyarakat yang terkait dengan keyakinan dan identitas tersebut memang belum sanggup dikatakan sangat membahayakan atau akan segera pecah menjadi konflik yang lebih besar. Namun apabila tidak ada ketegasan dan upaya-upaya peredaan ketegangan, maka akumulasi emosi massa yang terkoneksi melalui provokasi di media umum sanggup mematangkan perilaku saling curiga, antipati, dan kebencian, yang apabila dipicu oleh kejadian tertentu (misalnya pembunuhan, perkelahian, kecelakaan yang menimpa salah satu anggota kelompok) maka konflik yang lebih besar sanggup tersulut dengan cepat.

Kedua perihal koridor demokrasi dan aturan main aturan positif yang berlaku. Aksi massa ialah salah satu bentuk penyampaian pendapat dan aspirasi dalam koridor demokrasi. Batasannya terang yakni dilakukan dengan damai. Sementara aturan hukumnya ialah berupa pemberitahuan kepada Polisi, adanya penanggung jawab, serta tidak disertai aksi-aksi kekerasan atau hal-hal yang sanggup mengganggu keamanan dan ketertiban. Kemudian menjadi kiprah Polisi untuk mengawal pelaksanaan agresi massa tersebut biar berjalan dengan tertib. Sejauh ini belum terjadi kejadian korban mati akhir adanya intensi pembunuhan (seperti kejadian Atmajaya dan Trisaksi) ataupun amuk massa dan kerusuhan dengan kekerasan. Insiden dalam Aksi Bela Islam 4 November 2016 yang memakan korban luka merupakan peringatan terbukanya potensi rusuh dari kerumunan insan dalam jumlah besar. Terdeteksi adanya intensi membuat kerusuhan, sayangnya polisi belum menyebarkan teknik rekaman CCTV dari aneka macam sudut untuk merekam seluruh pelaku kerusuhan. Korban 1 orang mati dalam agresi 4 November tersebut juga terbukti lebih lantaran kondisi fisik (sakit) dan bukan akhir tindak kekerasan.

Ketiga perihal murni tidaknya aksi-aksi massa. Hal ini sanggup diperdebatkan lantaran tergantung pada data dan faktanya. Blog I-I mengambil posisi bahwa terjadi adonan dari kelompok masyarakat yang murni menuntut keadilan dan memberikan pendapat dan kelompok masyarakat yang secara politik mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dilakukan survei pada ketika agresi massa, mungkin akan terungkap berapa % yang murni dan berapa % yang digerakkan oleh kekuatan tertentu. Salah satu teknik sederhana dalam melihat kemurnian agresi massa ialah mencatat seluruh pernyataan baik yang tertulis maupun yang disampaikan secara lisan, kemudian dibandingkan dengan pesan umum yang ingin disampaikan. Niscaya kita akan segera menemukan adanya pesan-pesan tumpangan yang mungkin tidak disadari oleh pelaku demonstrasi.

Apakah telah terjadi divide et impera baik oleh kekuatan di dalam negeri maupun oleh asing? Penganut teori konspirasi akan segera jatuh pada kesimpulan adanya pihak-pihak tertentu yang sedang mengadu domba sesama anak bangsa Indonesia. Tuduhan yang paling gampang untuk kekuatan di dalam negeri ialah kepada oposisi baik Gerindra dengan Prabowo-nya maupun Demokrat dengan SBY-nya. Hal itu kemudian dibumbui dengan peranan keluarga Cendana yang memback-up kebutuhan finansial untuk melemahkan Pemerintahan Jokowi. Sementara itu, tuduhan kekuatan abnormal yang paling gampang ialah di satu sisi kepentingan AS dan sekutunya dan di sisi lain ialah kepentingan China. Apakah benar demikian?

Blog I-I tidak anti dengan pendekatan teori konspirasi, namun tidak pernah menggunakannya sebagai pendekatan analisa utama. Teori konspirasi hanya berada pada posisi pembanding membuka alternatif pemikiran dan tidak menjadi arus utama pemikiran lantaran sifatnya yang penuh prasangka sebelum data dan fakta cukup untuk membuktikannya. Kebiasaan jelek penganut teori konspirasi ialah cenderung untuk mencocokan fakta dengan teori dan prasangka sehingga berpotensi menjauh dari realita dan obyektifitas.

Analisa Blog I-I perihal divide et impera ialah sbb:
  • Komunalisme (bukan komunisme) masih inheren (melekat erat) dengan kehidupan Bangsa Indonesia. Hal ini berlawanan dengan individualisme yang berkembang pesat di aneka macam negara maju. Salah satu dampak dari komunalisme tersebut ialah mudahnya menggerakkan massa bahkan untuk isu-isu yang bahwasanya tidak menjadi kepentingan para individu dalam kelompok massa tersebut. Hanya diharapkan proses persuasi sederhana untuk menggerakkan massa yang secara emosional mempunyai relasi khususnya dalam kesamaan identitas (SARA). Aksi massa di negara maju hampir sanggup dipastikan terkait dengan kepentingan para individu yang melaksanakan demonstrasi tersebut, dan sangat jarang terjadi ikut-ikutan dalam jumlah besar. Komunalisme yang banyak bersandar pada simbol-simbol kelompok (SARA) menunjukkan rasa kondusif kepada anggotanya masing-masing dan hal ini memelihara kotak-kotak garis pemisah yang tegas. Apakah berarti komunalisme buruk? Bukan begitu maksud Blog I-I, komunalisme ialah suatu keniscayaan di masyarakat yang kepo (penuh rasa ingin tahu satu dengan yang lain), baper (senang cari perhatian menurut perasaan), kurang sanggup bangkit diatas kaki sendiri (berlindung dalam kelompok), dan kurang kerjaan (produkiftas rendah). Apabila anda super sibuk dengan keinginan tinggi di bidang anda masing-masing, maka waktu untuk ikut-ikutan dalam aktivitas kelompok dengan simbol-simbol menjadi sedikit dan dampaknya menjadi kurang terikat dengan kelompok.  Komunalisme juga tidak jelek lantaran ada dampak positifnya berupa saling tolong-menolong dan bersama-sama yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Oleh lantaran itu, yang perlu dikembangkan oleh Pemerintah dan juga rakyat Indonesia ialah komunikasi yang baik antar komune-komune yang ada di Indonesia. Pemerintah HARUS adil dalam menyikapi perbedaan antara komune-komune (paling gampang dilihat menurut SARA) yang ada di Indonesia. Faktor komunalisme inilah yang pernah dieksploitasi Penjajah Belanda untuk mengadu domba sesama masyarakat Nusantara dan mengendalikannya. Faktor komunalisme Indonesia era kemerdekaan masih sangat besar lengan berkuasa dan berjalan sendiri-sendiri menuju kepada idealisme masing-masing. Itulah sebabnya pimpinan nasional para pendiri NKRI setuju dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan pimpinan  Muhammadiyah dan NU serta sejumlah ormas Islam yang paham perihal kondisi obyektif bangsa Indonesia rela untuk menanggalkan keinginan Negara Islam semenjak awal kemerdekaan. Sangat sederhana, yakni demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mewujudkan keinginan kemerdekaan bangsa Indonesia. Singkat kata, potensi terpecah menurut komunalisme telah ada dalam diri kita semua. Hanya kesadaran perihal pentingnya menghindari konflik besar teramat sangat penting. Hal itu bukan meniadakan perbedaan lantaran perbedaan ialah keniscayaan yang tidak sanggup dihindari oleh insan (kodrat yang telah ditentukan Tuhan YME).
  • Tidak tertutup kemungkinan adanya pihak-pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang memanfaatkan potensi perpecahan dan huruf komunal di Indonesia tersebut. Namun apa yang sering terjadi ialah pada perilaku para pemimpin di masing-masing komunitasnya. Apabila pemimpinnya mengajak ke kanan maka anggotanya ikut ke kanan, dan hal inilah yang kemudian direpresentasikan sebagai agresi massa, padahal hal itu sangat mungkin hanya keinginan para pemimpin dari komunitas yang berkarakter komunal tersebut. Singkatnya Blog I-I menyoroti aneka macam dinamika agresi massa atas nama agama maupun kebhinnekaan sebagai refleksi dari pemikiran para pemimpin di kelompok masing-masing. Hal ini harus dipahami Pemerintah biar tidak salah dalam menyikapi dinamika sosial politik maupun konflik dan perbedaan di masyarakat. Secara khusus mari kita memperhatikan apa yang telah menimpa Ahok dan Fahri sebagai pemimpin, yakni kurangnya sensitifitas terhadap perbedaan-perbedaan di masyarakat Indonesia. Selain itu, orang Indonesia paling bahagia dimanja, dipuji, dihormati, dan diperlakukan baik secara kata-kata maupun perbuatan. Kemudian paling benci jikalau dihina, direndahkan atau diperlakukan rendah dengan perilaku arogan. Baik Ahok maupun Fahri seringkali mungkin tanpa sadar mempertontonkan keyakinan kebenaran dirinya secara "sombong" yang dampaknya ialah merendahkan atau mengecilkan orang lain. Psikologi masyarakat Indonesia tidak sanggup kita atur harus begini harus begitu, lantaran hal itu merupakan refleksi orisinil dan impulsif dalam merespon perlakuan baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Bukankah bangsa Indonesia juga dikenal sebagai putri bagus yang bahagia tidur (santai, rileks, malas), namun jikalau dihina dan diganggu dari tidurnya sanggup sekejap menjelma macan yang galak dalam amuk massa yang tidak takut mati? Itulah jatidiri bangsa yang seharusnya sanggup berevolusi terus menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Kita bangsa yang mempunyai pujian (pride) yang tinggi, namun disaat bersamaan juga menghadapi kendala-kendala yang rumit/kompleks untuk mengambarkan betapa tingginya peradaban Indonesia. Jangan lupa, bahwa bangsa yang besar di Nusantara dengan bukti-bukti sejarahnya akan tetap besar di era kini dan masa depan hanya jikalau kita semua sadar betul perihal kebesaran tersebut, dan bukan semata-mata merasa besar saja.
  • Faktor kudeta merupakan fakta sejarah huruf para pemimpin yang dari tahun ke tahun dari kurun ke kurun diwarnai konflik baik yang berdarah maupun yang damai. Faktor elit pimpinan kekuatan politik inilah yang paling krusial dan memilih arah dari persatuan maupun perpecahan bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa tidak sedikit elit pimpinan di Indonesia yang berafiliasi dengan Belanda menjadi boneka menjajah rakyat Indonesia demi kekuasaan dan kepentingan keluarga/kelompok. Sejarah telah mencatat bagaimana situasi nasional era Orde Lama dan era Orde Baru, kita juga melihat bagaimana Presiden-Presiden era reformasi semenjak Habibie hingga Jokowi ketika ini selalu mengalami rongrongan dari elit politik yang gagal memperoleh kekuasaan. Diperlukan kesadaran luar biasa untuk sanggup MENERIMA dengan tulus permainan kudeta yang ketika ini kita setuju demokrasi dengan pemilu.
  • Kesimpulannya, semua kembali kepada diri kita, kepada bangsa Indonesia, dan kepada para pemimpin kita apakah akan terus memelihara perpecahan ataukah bersatu dalam kebhinnekaan untuk Indonesia yang lebih baik?
Salam Intelijen
Dharma Bhakti




Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Memecah Belah Persatuan Indonesia: Sebuah Skenario Jahat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel