Belajar Intelijen: Deteksi Ajaran Radikal

Sumber gambar : Saudi Gazette

Kita sering mendengar, melihat, dan membaca isu wacana aliran radikal, baik yang menurut agama maupun ideologi tertentu di media massa elektronik dan cetak. Kita juga sering mendengar terjadinya radikalisasi yang kemudian mengarah pada aksi-aksi terorisme. Apapun sebutannya, kelompok radikal, kelompok garis keras, ataupun kelompok teroris, hanya satu kesamaannya yakni pada aspek "pemaksaan kehendak" yang diiringi oleh kekerasan. Meskipun harapan kelompok radikal mungkin sesuatu yang ideal menurut keyakinan kelompok tersebut, namun saat cara mewujudkannya dengan memakai pemaksaan dan agresi kekerasan, maka sah sanggup dikatakan kelompok tersebut radikal. Lalu bagaimana kita masyarakat biasa sanggup mendeteksinya?

Berikut ini beberapa tips sederhana untuk kita pahami dan sanggup kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendeteksi adanya aliran radikal di lingkungan kita masing-masing. Tips deteksi aliran radikal ini menurut kepada pengalaman jaringan Blog I-I yang selama bertahun-tahun hidup bersama banyak sekali aliran-aliran radikal yang tumbuh subur di Indonesia.


  1. Ciri pertama dari aliran radikal yaitu langsung dengan keanggotaan kelompok baik yang ditandai dengan adanya sumpah setia (bai'at) kepada pimpinan atau guru. Bai'at tersebut seringkali tidak menyerupai sumpah setia kepada aliran atau kelompok, melainkan dibungkus dengan kesetiaan kepada Allah dan Rasul SAW dan kemudian diujungnya gres diikat dengan keta'atan kepada pimpinan kelompok. Bagi anda yang lemah dan kurang pengetahuan agama serta lemah secara psikologis (kurang percaya diri) akan gampang diikat oleh model sumpah menyerupai itu. Meskipun secara prinsip agama tampak tidak menyimpang, namun ada upaya pengendalian pengikut melalui indoktrinasi kepatuhan kepada pimpinan kelompok yang sangat berpengaruh mengikat anda jikalau terjerumus ke dalam kelompok radikal. Itulah sebabnya aliran radikal cenderung langsung tertutup lantaran jikalau terbuka tanpa ikatan sumpah setia, proses radikalisasi anggota menjadi sulit. Pada masjid-masjid dan pengajian yang terbuka sanggup dihadiri siapa saja, sangat jarang terjadi proses radikalisasi lantaran niscaya diantara jamaah masjid atau pengajian ada yang kritis atau bahkan pandai agama yang baik, kesudahannya ajaran-ajara radikal tidak sanggup disampaikan secara terbuka. Apabila di lingkungan anda terdeteksi ada pengajian yang sifatnya tertutup khusus anggota, perlu anda mulai waspada. Karena kemungkinan pengajian tersebut mengajarkan radikalisme atau mungkin juga sekedar penipuan untuk menyerap dana dari masyarakat. Sungguh bahwa anutan Islam yang lurus tidak perlu disampaikan secara sembunyi-sembunyi, apalagi dengan mengikat sumpah setia dari umat Islam kepada guru atau pimpinan. Model bai'at juga sering kita temui dalam pengajian-pengajian sufi atau kebathinan, namun pengajian sufi ini akan segera terlihat bahwa bai'at yang dilakukan bukan dalam rangka pengendalian anggota melainkan dalam rangka membuat pengkhidmatan atau penghormatan murid kepada guru yang menjadi pembimbing spiritualnya. Selain itu, pengajian sufi lebih banyak diisi oleh pengajaran dan acara mengingat Allah SWT dan ibadah (melihat ke dalam dan introspeksi), sedangkan pengajian yang mengajarkan radikalisme akan lebih banyak melihat ke luar (menilai keadaan sosial politik secara kritis) dan berdiskusi bagaimana merubah keadaan sosial politik yang dianggap tidak Islam menjadi Islam.
  2. Ciri kedua yaitu pada penanaman simbol-simbol agama yang bertujuan memantapkan perilaku keagamaan sebagaimana diajarkan oleh guru atau pimpinan aliran radikal. Hal ini meliputi disiplin dalam berpenampilan, membiasakan memakai istilah dari bahasa Arab dalam keseharian, serta perilaku yang terperinci dalam memandang dunia secara hitam putih antara penyembah thogut dan orang beriman. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ciri kedua ini, lantaran umumnya umat Islam yang berguru agama dan cukup mengerti anutan Islam tidak akan menolak pentingnya pemantapan perilaku keagamaan. Perbedaan yang fundamental dari aliran radikal yaitu manakala perilaku keagamaan ini mengeras kepada perilaku berlebihan yang memandang diri sendiri paling benar dan yang di luar kelompoknya yaitu salah. Sikap merasa paling benar secara berlebihan ini sering tercermin dari mudahnya mengkafirkan orang lain yang tidak sejalan meskipun sama-sama Muslim,  yang mana lebih dikenal dengan istilah takfiri. Dengan perilaku keagamaan yang mengerucut kepada konsep kami benar yang lain salah ini, tidak jarang kemudian menjadi dasar cara pandang terhadap dunia yang seakan-akan sudah sedemkian rusaknya dan mereka merasa wajib memperbaikinya dengan cara mereka. Salah satu cara memperbaikinya tersebut lagi-lagi munculah wangsit pemaksaan dengan kekerasan yang menjadi metode perjuangannya.
  3. Ciri ketiga yaitu adanya kepura-puraan dalam bersikap saat berada di dalam kelompok dan saat berada di luar kelompok. Maksudnya mereka yang telah masuk dan meyakini anutan radikal akan tampak mempunyai dua kepribadian. Yakni sangat keras dan sangat bersemangat dalam kegiatan-kegiatan tertutup kelompok, namun saat berada di tengah-tengah masyarakat tampak biasa saja bahkan sering berpura-pura tidak menawarkan perilaku kerasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka mengelabui masyarakat dan pegawanegeri keamanan semoga kelompok radikal tersebut tidak terdeteksi. Lebih jauh lagi, pengajian-pengajian kelompok radikal tidak selalu membahas masalah-masalah jihad, melainkan juga membahas duduk kasus umum keagamaan yang biasa. Sehingga untuk sanggup tahu persis apakah suatu kelompok radikal atau tidak, harus benar-benar menjadi anggota dan rajin mengikuti pengajian-pengajiannya. 
  4. Ciri keempat adanya struktur bertingkat dalam mencapai kedekatan dengan guru atau pimpinan kelompok radikal. Pengikut kelompok radikal yang masih gres tidak akan segera sadar bahwa ada sekat-sekat yang ketat dalam struktur kelompok radikal yang bertujuan menyeleksi siapa-siapa yang dianggap cukup syarat untuk sanggup mengikuti pengajaran yang lebih radikal menyerupai merakit bom, atau menjadi pengantin bom bunuh diri. Dalam setiap kelompok radikal ada pencari-pecari "bakat" yang mengamat-amati penerima pengajian yang sanggup diradikalisasi secara cepat untuk bisa melaksanakan aksi-aksi yang radikal. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok agresi massa yang secara beramai-ramai melaksanakan agresi protes dengan kekerasan. Radikalisasi pelaku bom bunuh diri biasanya menimpa mereka yang telah mempunyai potensi suicidal kehampaan dalam hidup, perasaan berdosa yang berat dan berlebihan, putus asa, terdoktrin oleh konsep mati syahid yang dipelintir untuk justifikasi agresi bom bunuh diri. 
  5. Ciri kelima, yaitu cara pandang khas wacana dunia Islam dan musuh Islam. Dari cara pandang tersebut dikembangkan konsep-konsep Darul Islam, Darussalam, Darul Tauhid sebagai wilayah dimana anutan Islam sanggup dilaksanakan secara utuh. Kemudian pada wilayah lain ada konsep Darul Harb, Darul Kufr, dan Darul Gharb yang mencerminkan dunia yang tidak Islami. Pembagian dunia dalam dua pecahan tersebut mengakibatkan lahirnya konsep perang meski faktanya tidak sedang berperang. Yakni saat suatu negara bangsa tidak menerapkan aturan Islam dan bukan negara Islam, maka di negara tersebut umat Islam berada dalam kondisi "perang", artinya boleh melaksanakan pembunuhan (teror) kepada masyarakat di negara Darul Harb tersebut. 
  6. Ciri terakhir yaitu adanya training fisik berupa latihan fisik menyerupai militer yang diiringi dengan banyak sekali kemampuan dasar militer hingga pada kemampuan khusus menyerupai merakit bom, dll.
Catatan pelengkap untuk nomor 5. Terjadi kekeliruan penerapan konsep Darul Harb dalam menilai Indonesia lantaran apabila konsisten dengan konsep kenegaraan Khulafaur Rasyidin hingga kala Utsmaniyah di Turki, maka Indonesia modern paska kemerdekaan 1945 masuk dalam kategori Darul Ahd (wilayah damai) atau Darul Sulh (wilayah konsiliasi) yakni meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun umat Islam sanggup berkembang melaksanakan anutan Islam seutuhnya beribadah dengan tenang serta sanggup membuatkan anutan Islam tanpa adanya bahaya atau pelarangan dakwah. Pandangan sejumlah ulama radikal menyerupai Aman Abdurrahman dkk yang menilai Indonesia sebagai Darul Harb yang dipimpin oleh para Thogut terperinci keliru, lantaran faktanya Islam tidak mengalami kendala baik dalam pelaksanaan anutan maupun pengembangan dakwahnya.  

Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen,
Dharma Bhakti


Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Belajar Intelijen: Deteksi Ajaran Radikal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel