Apa Kabar Jakarta?

Sebulan lebih Blog I-I tidak mempublikasikan menyebarkan analisa, pengalaman, dan wawasan kepada pembaca setia sahabat Blog I-I yang baik hati. Tidak disangka-sangka ratusan email menyapa, bertanya-tanya, dan memperlihatkan pemberian moril biar Blog I-I tetap eksis. Terima kasih.....terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh sahabat Blog I-I yang tetap bersemangat menyebarkan kebaikan untuk Indonesia Raya. Marilah kita semua tetap menjaga semangat KeIndonesiaan yang telah teruji jalan panjang sejarah usaha bangsa dari banyak sekali etnis suku bangsa yang mempunyai kesamaan keinginan dari dari awalnya berupa kemerdekaan dan kemudian kemerdekaan itu kita isi dengan kesejahteraan dan keadilan yang merata di seluruh tanah tercinta Indonesia Raya.



Belakangan ini bangsa Indonesia khususnya di Ibukota Jakarta bertingkah laris menyerupai anak kecil yang sedang berebut permen kekuasaan dengan rasa Kebhinnekaan dan rasa KeIslaman. Dinamika sosial politik terkait Pilkada DKI Jakarta terkesan sangat berangasan dalam emosi-emosi rendah menuduh secara keji bahwa mereka yang ingin menyalurkan pilihannya kepada calon Gubernur Muslim yaitu radikal dan anti kebhinnekaan, sebaliknya mereka yang ingin memberikan pilihannya kepada calon Gubernur Penista Agama yaitu kafirin musuh Islam atau golongan Islam Munafik.

Membenturkan secara pribadi dua hal yakni Islam dan kebhinnekaan sebetulnya merupakan kesesatan cara berpikir dalam demokrasi yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan. Mengapa sesat? Hal ini tidak lain alasannya prinsip tertinggi dalam berdemokrasi yaitu saling menghormati dan bahkan melindungi hak-hak politik termasuk dalam menentukan calon pemimpin berdasarkan keyakinan masing-masing, apakah keyakinan itu berupa agama, ideologi, doktrin, platform partai politik, maupun semata-mata alasannya simpati masyarakat. Sehingga apa yang berkembang belakangan ini di masyarakat yaitu suatu keadaan sesat dari prinsip dasar demokrasi.

Pihak-pihak yang berkompetisi dalam pilkada DKI Jakarta mungkin merasa cerdas dengan serangan-serangan mengandung unsur SARA yang secara sengaja mengacak-acak emosi masyarakat Jakarta yang sangat terperinci terpecah secara tajam dalam kelompok pro-kontra alasannya adanya kasus penistaan agama oleh salah satu calon gubernur. Siapakah yang menyebarkan kebencian-kebencian SARA tersebut? Data dari jaringan Blog I-I belum sanggup dipertanggungjawabkan sehingga tidak sanggup diungkap kepada publik alasannya berpotensi tersangkut dengan pencermaran nama baik atau fitnah. "Entah berapa banyak himbauan-himbauan yang seolah tampak nasionalis dengan konsep kebhinnekaan sesungguhnya telah menusuk tajam ke dalam hati sanubari umat Islam yang rajin membaca Al Alquran setiap hari" demikian disampaikan salah seorang penasihat spiritual Blog I-I yang juga seorang yang mempunyai waskita. Hal itu bukan saja sangat mengganggu melainkan juga telah membuat dorongan radikalisasi agama alasannya keinginan sederhana menegakkan aturan nasional  Indonesia biar penista agama diadili melalui proses aturan yang adil justru dibombardir dengan tuduhan-tuduhan ingin makar atau bahkan penerapan syariah Islam dan mendirikan negara Islam.

Habib Rizieq bukanlah orang suci dan perilakunya juga tidak sanggup dikatakan santun bermoral tinggi alasannya sejumlah sikap dan pernyataannya juga disampaikan tidak secara baik dan marhamah sebagaimana diajarkan dalam Al Quran. Barangkali Habib menentukan kata dan kalimat yang lebih tegas dan cenderung berangasan sebagaimana juga dilakukan oleh Ahok. Sehingga serangan demi serangan pun menyasar kepada Habib hingga kepada hal-hal pribadi yang belum tentu benar.

Sangat terperinci terang benderang bahwa propaganda-propaganda kebhinnekaan dan tuduhan makar kepada sejumlah penggagas yaitu suatu rekayasa keji alat kekuasaan yang telah melahirkan suatu alasan radikalisasi agama yang semakin berpengaruh mengakar di dalam sebagian masyarakat Islam Indonesia yang merindukan penegakan syariah Islam. Hanya demi mengamankan pilpres 2019 dengan memenangkan pilkada DKI Jakarta, maka para propagandis kebhinnekaan lupa bahwa merekalah yang telah memperlihatkan alasan yang sangat berpengaruh untuk radikalisasi agama.

Kekeliruan propaganda kebhinnekaan terletak pada ruang dan waktu yang salah, yakni dimana seharusnya kita saling menghormati prinsip masing-masing kelompok masyarakat, propaganda tersebut dikembangkan secara massif dengan sasaran umat Islam biar menentukan Gubernur penista agama. Andaikata himbauan-himbauan kebhinnekaan dilakukan tanpa terkait dengan sebuah proses pemilihan pemimpin atau pesta demokrasi, maka usul kebhinnekaan tersebut menjadi sangat relevan dan sempurna bagi bangsa yang multikutural dan multi etnis menyerupai Indonesia ini.

Logika yang dibangun oleh propagandis kebhinnekaan yaitu seolah orang-orang Islam yang menghendaki penegakkan aturan kasus penistaan agama tidak menghormati kebhinnekaan. Bukankah budi tersebut sesat?

Pada sisi lain, pemanfaatan kasus penistaan agama untuk menggerus keyakinan pemilih biar menghindari cagub penista agama tidak seyogyanya dilakukan secara berlebihan. Hal ini sama saja sebagai pengadilan di luar sidang dimana tersangka telah dianggap bersalah sebelum terbukti. Fenomena Aksi Bela Islam I, II, dan III sanggup dikatakan adonan antara rekayasa politik (maksudnya diorganisir secara rapi untuk tujuan politik) dan murni aspirasi sebagian umat Islam yang peduli dengan keyakinannya. Mereka yang menggagas dalam kerangka berpikir politik, sah-sah saja memanfaatkan blunder pernyataan publik yang diterjemahkan sebagai penistaan agama. Namun dikala argumentasinya menjadi sangat berangasan dengan elemen primordial, kebencian, dan berpotensi menjadi konflik, maka hal itu sudah berlebihan. Pertanyaannya kemudian, apakah aksi-aksi sebagian umat Islam yang peduli dengan Al Quran, ulama dan ajarannya tersebut dinilai telah berlebihan?

Rekayasa kasus makar yang menimpa sejumlah penggagas baik penggagas akademisi, HAM, maupun Islam telah mengakhiri gambaran positif Kapolri Tito Karnavian yang sebetulnya sangat potensial mengukir prestasi dan memperbaiki Polri. Apapun alasan, alat bukti, dan proses pembuktian yang telah dan akan dilakukan oleh Polisi semuanya terperinci terang benderang rekayasa. Mengapa Blog I-I berani secara terbuka memberikan analisa ini? Untuk memenuhi delik aturan kasus makar sebagaimana aturan yang berlaku di Indonesia yaitu sbb:
  • Pasal 110 ayat (1) jo pasal 88 KUHP, dimana: (1) Pasal 110 ayat (1) menyatakan “Permufakatan jahat untuk melaksanakan kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan bahaya pidana dalam pasal-pasal tersebut”, dan; (2) Pasal 88 menegaskan “Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah setuju akan melaksanakan kejahatan”. 
  • Bentuk makar dalam kitab undang-undang hukum pidana ada 3, yaitu : (1) Makar Terhadap Kepala Negara (Pasal 104 KUHP) a. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh Kepala Negara b. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk mengalahkan kemerdekaan kepala negara c. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kepala negara tidak sanggup memjalankan pemerintahan d. diancam dengan pidana 20 tahun/seumur hidup dan eksekusi mati; (2) Makar Untuk Memasukkan Indonesia Dalam Penguasaan Asing (Pasal 106) a. Berusaha menimbulkan seluruh wilayah Indonesia atau sebahagian menjadi jajahan negara lain b. Berusaha menimbulkan kepingan dari wilayah Indonesia menjadi suatu negara yang mardeka atau berdaulat terlepas dari NKRI. Diancam pidana penjara seumur hidup atau paling usang dua puluhtahun; dan (3) Makar Untuk Menggulingkan Pemerintahan (Pasal 107 KUHP) Pasal (107) kitab undang-undang hukum pidana : Makar dilakukan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan dan diancam dengan eksekusi 15 tahun penjara, seumur hidup, 20 tahun, dan maksimum eksekusi mati. Arti dari menggulingkan : a. Menghancurkan bentuk pemerintahan berdasarkan UU b. Mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar
  • Secara formil, pasal 104, 106 dan 107 kitab undang-undang hukum pidana pada pokoknya melarang perihal perbuatan dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wapres memerintah, memisahkan diri dari NKRI atau menggulingkan pemerintahan yang sah, dimana semua itu dikategorikan sebagai tindak pidana makar. 
Baik rekayasa kasus "makar" pada Desember 2016 maupun Maret 2017 yaitu rekayasa politik yang kurang cermat dengan harapan masyarakat akan percaya hal itu sebagai upaya pencegahan makar yang sanggup mengakhiri rezim Jokowi-JK. Baik Pasal 104 (target Kepala Negara), pasal 106 (penguasaan Asing dan separatisme), serta pasal 107 (menggulingkan pemerintah) tidak ada satupun yang secara meyakinkan sanggup dibuktikan. Apabila alasannya yaitu "menduduki DPR-RI" kemudian mendesak dilakukannya Sidang spesial sehingga Pemerintahan Jokowi-JK terjungkal, maka hanya pasal 107 yang relevan. Apabila dibandingkan dengan reformasi 1998 yang sanggup dilihat sebagai "makar" terhadap Presiden Suharto, maka sangat banyak elemen aturan dan bukti yang tidak sanggup terpenuhi dalam kasus makar belakangan ini.

Sebagai pola contohnya perihal adanya transfer uang dan pemufakatan untuk menggulingkan Jokowi-JK. Jumlah bantuan uang yang terjadi pada tahun 1998 untuk menggulingkan Presiden Suharto jauh berlipat-lipat (baca: rekaman telepon tapping oleh BAKIN dan BAIS Tentara Nasional Indonesia dan penelusuran bukti-bukti transfer bantuan uang reformasi). Selain itu, pemufakatan tidak berhenti pada kata mufakat semata melainkan menjadi agresi sesungguhnya secara rapi dan simultan dalam skala nasional, atau minimal di kota-kota besar. Apa yang terjadi pada bulan Desember 2016 dan Maret 2017 yang direkayasa sebagai kasus makar oleh polisi bahkan tidak mencapai 5% dari apa yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. 

Harus kita sadari bersama bahwa reformasi 1998 yang kita agung-agungkan intinya yaitu pelanggaran aturan delik makar terhadap pemerintahan Suharto. Seandainya Presiden Suharto tidak dikhianati oleh orang-orang dekatnya dan segera memerintahkan penangkapan-penangkapan secara besar-besaran sebagaimana dilakukan Presiden Erdogan di Turki belum usang ini, tentunya dongeng akan jauh berbeda. Politik yaitu siapa yang menang maka ia yang benar, alasannya reformasi menang maka reformasi menjadi benar dan tidak melanggar aturan makar.

Contoh lainnya yaitu makar terhadap Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga dikenal dengan Bughot. Apa yang terjadi terhadap Gus Dur sangat menyerupai dengan yang terjadi pada Presiden Suharto, yakni penghianatan politik dari para pendukung di awal pemerintahan Gus Dur. Kudeta konstitusional yang mengantarkan Megawati menjadi presiden secara teori masuk ke dalam delik kejahatan makar dan memenuhi pasal 107. Namun sekali lagi alasannya Gus Dur kalah secara politik, maka dalam sejarah Indonesia tidak tercatat terjadinya sebuah insiden kejahatan makar, dan baik Presiden Suharto maupun Presiden Abdurrahman Wahid menentukan untuk mendapatkan realita politik dan menghindari konflik yang lebih besar yang akan merugikan bangsa Indonesia.

Namun apa yang terjadi di kurun Jokowi-JK kini ini yaitu fenomena "ketakutan" atau ketidakmampuan dalam pengendalian massa, sehingga dirasa perlu diambil langkah-langkah preventif dengan memanfaatkan pasal perihal makar, singkat kata rekayasa berdasarkan bukti-bukti yang belum cukup meyakinkan. Untuk sederhananya dalam membaca pasal perihal makar yaitu sbb:
  1. Adakah yang bermufakat merencanakan pembunuhan Jokowi-JK, atau menimbulkan pemerintahan tidak sanggup berjalan? pasal 104
  2. Apakah terjadi pemufakatan dan pelakasanaan mufakat menimbulkan Indonesia jatuh ke tangan aneh atau terjadi pemisahan negara dan pembentukkan negara baru?
  3. Adakah bukti-bukti upaya penggulingan kekuasaan Jokowi-JK dengan bukti pemufakatan jahat akan melaksanakan kejahatan makar? 
Poin 3 yaitu satu-satunya sudut pandang yang daat dikembangkan dari bukti-bukti adanya aliran dana dan pertemuan-pertemuan yang membicarakan kekuasaan negara. Namun demikian, apakah suatu pemufakatan (andaikata benar terbukti) cukup sanggup dikatakan makar manakala kemampuannya sangat kecil jikalau dibandingkan dengan aparatur negara khususnya kepolisian, militer, intelijen Indonesia yang demikian besar? Lain ceritanya apabila tokoh-tokoh yang bermufakat mempunyai kekuatan sangat besar baik secara politis, uang, pengaruh, dan massa menyerupai posisi di Kementerian, Kepolisian, TNI, Intelijen, Bisnis strategis, partai politik, ormas besar, yang apabila bersepakat akan dengan gampang menggulingkan suatu pemerintahan. 

Mohon ma'af kepada Bapak dan Ibu Polisi yang sangat yakin bahwa telah terjadi kejahatan makar terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Blog I-I beropini belum terlambat untuk memperbaiki keadaan dengan lebih serius memperhatikan faktor pembuktian secara aturan formal dan ukuran kekuatan melaksanakan tindakan makar yang sungguh-sungguh sanggup menggulingkan pemerintah.

Setelah melihat secara terperinci dari sudut pandang Blog I-I, maka sahabat-sahabat Blog I-I sanggup memahami siapa sesungguhnya membuat kerusakan dan kegaduhan yang seperti Indonesia sudah berada dalam keadaan darurat. Semoga masyarakat Jakarta sanggup menyadari bahwa dinamika sosial-politik tidak terlepas dari aksi-reaksi yang hal itu sanggup menjadi bulat konflik apabila akar masalahnya tidak disentuh. Jakarta bukan hanya etalase pembangunan fisik dan keindahan serta modernisasi Ibukota, melainkan juga etalase ahlak yang tercermin dari sikap pemimpinnya yang sanggup memperlihatkan tauladan yang baik. Selamat melaksanakan hak politik anda dalam menentukan pemimpin Jakarta yang anda yakini sanggup membawa perubahan yang lebih baik.

Silahkan disebarluaskan, Blog I-I bertanggungjawab atas artikel yang dipublikasikan di Blog I-I. Kritik dan komentar silahkan disampaikan.

Salam Intelijen
SW



Sumber https://intelindonesia.blogspot.com

0 Response to "Apa Kabar Jakarta?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel